Habitus dalam Mengikut Kristus: Kaitan antara Etika Karakter dan Spiritualitas Kristen
DOI:
https://doi.org/10.36421/veritas.v12i2.244Keywords:
Christian ethics., Christian life.Abstract
Di dalam buku Fabricating Jesus, Craig Evans mengawali tulisannya dengan kisah singkat tentang pergeseran kehidupan rohani dari beberapa pakar Alkitab. Di antaranya adalah James Robinson, seorang ahli Perjanjian Lama, yang pada masa mudanya memiliki iman yang Injili, tetapi, menurut pengakuannya sendiri, imannya dihancurkan setelah ia berkenalan dengan higher criticism atau metode kritis dalam membaca Alkitab. Tokoh yang lain lagi adalah Robert Price, seorang ahli Perjanjian Baru, yang dididik di sekolah Injili yang cukup kuat—Gordon Conwell Theological Seminary. Pada masa mudanya ia bahkan pernah secara aktif terlibat dalam pelayanan kelompok Injili yang dikenal dengan sebutan Intervarsity. Tetapi setelah menyelesaikan studi doktoralnya akhirnya ia justru sekarang menjadi seorang agnostik. Satu contoh lagi adalah Bart Erhman, juga seorang pakar Perjanjian Baru. Di awal jenjang akademiknya ia belajar di sekolah-sekolah Injili (Moody Bible Institute dan Wheaton College), tetapi setelah menyelesaikan studi Ph.D. di Princeton Seminary, ia justru tidak lagi mempercayai Alkitab sebagai firman Tuhan. Menurut kacamata orang-orang Injili, beberapa contoh perjalanan hidup di atas merupakan sebuah kemunduran, bahkan kegagalan rohani. Di lain pihak, contoh-contoh seperti di atas juga sekaligus menyadarkan kita tentang proses perjalanan rohani sebagai bagian dari pertanggungjawaban iman. Saya percaya kita tidak boleh dengan gampang melempar tanggung jawab kehidupan rohani kita kepada Tuhan dengan berkata, misalnya, “Kalau kita ini memang orang pilihan, pertumbuhan rohani kita juga pasti dijamin oleh Tuhan.” Sebagai seorang Calvinis, saya tidak menyangkali sentralitas anugerah keselamatan dari Tuhan dalam perjalanan iman kita. Tetapi saya juga percaya bahwa anugerah keselamatan tidak berarti bahwa Tuhan mengambil alih seluruh proses perjalanan iman kita dan meniadakan tanggung jawab rohani dari diri kita. Justru karena anugerah itulah, maka kita dapat dengan bebas dan merdeka memulai peperangan rohani untuk mematahkan setiap cobaan dan dosa yang ada dalam diri kita dan di sekitar kita. Diogenes Allen dalam bukunya Spiritual Theology mengingatkan dengan tepat bahwa jika kita memberikan penekanan yang berlebihan pada pengalaman pertobatan atau fase awal kehidupan rohani kita, kita cenderung lupa atau beranggapan bahwa dengan sudah lahir baru dan bertobat maka kita telah mencapai tujuan akhir perjalanan hidup rohani. Padahal kelahiran baru dan pertobatan tersebut perlu sungguh-sungguh diwujudkan. Pada waktu kita menjalani kehidupan rohani sehari-hari, baru kita menyadari betapa sulitnya dan betapa banyaknya tantangan yang harus diatasi untuk dapat maju secara rohani, misalnya, tadinya tidak dapat mengasihi sesama menjadi dapat mengasihi sesama dengan tulus; atau tadinya pemarah menjadi seorang yang sabar dan dapat bertekun dalam kesabarannya. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu terjadi secara otomatis. Ada jurang yang lebar dan jalan yang berliku-liku di antara kedua fase tersebut. Di dalam Injil kita membaca ada lebih dari satu kali ketika Tuhan Yesus mengetahui orang berbondong-bondong mengikuti Dia atau mau menjadi murid-Nya, Ia mengambil waktu untuk menguji kesungguhan hati mereka (lihat a.l. Luk. 9:57-62; 14:25-35; Yoh. 6:60-71). Saya percaya bahwa latihan rohani merupakan bagian utama dari pertanggungjawaban iman Kristen di hadapan Tuhan. Di dalam konteks latihan rohani atau pembentukan spiritualitas Kristen itulah penulis melihat adanya manfaat yang dapat dipetik dari kaitan antara spiritualitas Kristen dengan salah satu prinsip utama dalam virtue ethics atau etika karakter. Salah satu prinsip utama dalam etika karakter yang penulis maksud di sini adalah konsep tentang habitus, yang dapat diterjemahkan secara bebas sebagai “kebiasaan.” Prinsip yang kedengarannya polos dan sederhana ini, di dalam konteks iman Kristen dapat memberikan sumbangsih yang tidak sedikit. Karena itu, dalam tulisan yang tidak terlalu panjang ini, penulis ingin mencoba mengaitkan pemahaman tentang habitus dengan teori tentang pembentukan spiritualitas Kristen.