Orang Tionghoa dalam Negara Indonesia yang Dibayangkan: Analisis Percakapan Para Pendiri Bangsa dalam Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI
DOI:
https://doi.org/10.36421/veritas.v10i2.215Keywords:
Chinese -- Indonesia.Abstract
Pada 1995, Institut DIAN/Interfidei menerbitkan sebuah buku yang sebagian besar berisi makalah yang didiskusikan dalam seminar bertajuk “Konfusianisme di Indonesia,” yang diadakan pada tahun sebelumnya oleh Institut DIAN/Interfidei juga. Judul buku itu adalah Konfusianisme di Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri. Buku ini memang khusus bicara soal Konfusianisme di Indonesia. Namun, percakapan tentang Konfusianisme tidak bisa dilepaskan dari percakapan tentang orang-orang Tionghoa, yang sebagian besar memeluk keyakinan ini. Karena itu, bicara tentang pergulatan Konfusianisme yang mencari jati dirinya di bumi Indonesia tidak bisa tidak juga menyentuh para pemeluknya, orang-orang Tionghoa. Buku itu hanya salah satu dari sekian banyak buku yang pernah ditulis tentang orang-orang Tionghoa. Sejak terbitnya buku itu, persoalan siapa dan di mana orang Tionghoa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pun tidak pernah selesai dibicarakan. Tiga tahun setelah buku itu diterbitkan, menyusul jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, terjadi kerusuhan hebat di beberapa kota di Indonesia, yang mana salah satu korbannya adalah orang-orang Tionghoa. Terlepas dari pahit-getirnya peristiwa itu, bagi orang-orang Tionghoa, kerusuhan itu hanyalah sekadar letupan di permukaaan dari isu yang sebenarnya belum pernah tuntas diselesaikan, yaitu soal tempat atau posisi orang-orang Tionghoa Indonesia di dalam konfigurasi masyarakat dan negara Indonesia. Siapakah sebenarnya orang Tionghoa ini di mata orang-orang non-Tionghoa di Indonesia? Jauh sebelum negara Indonesia berdiri, siapakah mereka menurut pemahaman Bapak-Bapak Pendiri Bangsa Indonesia? Apakah mereka sungguh bagian integral bangsa ini? Ataukah mereka, memakai ungkapan rasul Paulus dalam Surat Roma, adalah “tunas liar” yang bukan cabang asli dari sebuah pohon yang disebut Indonesia? Kalau jawabannya ya, pertanyaan berikutnya adalah pemahaman-pemahaman macam apakah tentang Indonesia yang telah memberi ruang muncul dan berkembangnya cara pandang semacam itu? Mengapa sampai muncul, setidaknya dalam pemikiran para Bapak Bangsa Indonesia, dikotomi semacam itu? Arikel ini bermaksud menelusuri persoalan-persoalan di atas dengan menggunakan teori Ben Anderson tentang bangsa sebagai the imagined communities sebagai alat bantu untuk menginterogasi pikiran-pikiran para Bapak Pendiri Bangsa Indonesia, yang terungkap dalam pidato-pidato mereka di dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Pikiran-pikiran yang terungkap selama sidang-sidang ini dijadikan acuan di sini karena, menurut saya, persidangan itu memiliki nilai historis yang amat penting bagi lahirnya negara Indonesia. Ia amat penting karena menjadi landasan bagi generasi bangsa Indonesia selanjutnya memahami dirinya. Meski waktu yang tersedia untuk merenungkan Indonesia tidak banyak, jika dibaca dari sudut pandang durasi waktu mereka bersidang, namun bukan berarti pikiran-pikiran itu muncul saja secara tiba-tiba. Seperti yang diungkapkan Bung Karno dalam pidatonya tentang dasar negara, ia telah sejak lama sekali merenungkan dan memperjuangkan Pancasila. “[S]aya berjuang sejak 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu . . . . Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun.” Kalau demikian, maka apa yang terungkap dalam persidangan itu bisa dipakai sebagai deskripsi yang mendekati kenyataan yang selama ini dipikirkan dan dibayangkan tentang Indonesia saat itu dan kemudian.