Identitas dan Nasionalisme Komunitas Kristen di Indonesia: Tinjauan Pemikiran Th. Sumartana dan Implikasinya bagi Pelayanan Kaum Muda
DOI:
https://doi.org/10.36421/veritas.v13i1.252Keywords:
Christianity and politics -- Indonesia., Sumartana, Th., 1944-2003, Church work with youthAbstract
Kehadiran agama Kristen di Indonesia selalu dibayangi oleh catatan sejarah yang kurang menguntungkan. Berdasarkan catatan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, kekristenan pernah diidentikkan sebagai agama Belanda atau penjajah, apalagi pada awal abad ke-20, agama Islam telah identik dengan pergerakan nasionalisme Indonesia. Akibatnya, secara tidak langsung identitas keindonesiaan dan kadar nasionalisme pemeluk agama Kristen di Indonesia menjadi sering diragukan. Kenyataan ini semakin diperburuk oleh kondisi gereja yang menutup diri dari berbagai persoalan sosial, masyarakat, dan negara. Ferry Y. Mamahit mengungkapkan bahwa kebanyakan gereja, secara khusus kalangan gereja Injili, bersikap apatis terhadap masalah-masalah sosial seperti kemiskinan yang ada di sekitarnya. Gereja melakukan pola hidup dualisme, dunia rohani dan dunia sekuler, sehingga menjadi komunitas yang menghindari dunia (world-denying church), padahal seharusnya gereja menjadi alat bagi Allah untuk melakukan karya-Nya di muka bumi di antara umat manusia (world-engaging church). Selain itu, banyak gereja dikuasai oleh prasangka dan pemikiran diskriminatif yang membuat kekristenan tidak mampu menjalankan komunikasi dan kerja sama antarumat beragama. Padahal pluralitas agama dan pluralisme merupakan topik yang telah merambah ke seluruh aspek kehidupan sehingga menuntut respons yang tepat di dalam menganggapinya.4 Th. Sumartana (alm.) mengagas gerakan untuk membawa kekristenan menjadi relevan di bumi Indonesia dan dapat berperan aktif di dalam konteks pluralitas agama. Tulisan ini akan memaparkan pemikiranpemikiran Sumartana tersebut. Apakah inti pemikiran Sumartana tentang agama-agama, gereja, kristologi, dan dialog antar-umat beragama? Apakah pandangan Sumartana dapat dibenarkan? Apakah implikasi pemikiran Sumartana bagi pelayanan gereja secara umum dan secara khusus di dalam konteks pelayanan kaum muda di Indonesia?