VERITAS  3/1 (April 2002) 37-59


 

CALVIN DAN TUDUHAN PERPECAHAN DARI ROMA KATOLIK TERHADAP PARA REFORMATOR: SEBUAH STUDI TENTANG KESATUAN GEREJA

HIDALGO B. GARCIA

Calvin bisa dianggap sebagai seorang pemimpin gereja yang ekumenikal.  Namun, dalam banyak studi mengenai sikap ekumenikal Calvin, mau tidak mau kita merasakan adanya prasuposisi yang tidak semestinya, yang tidak berhubungan dengan situasi aktual abad keenam belas dan tujuh belas.  Mungkin sulit diperlihatkan sampai sejauh mana sikap seseorang terhadap gerakan ekumenikal saat ini mempengaruhi kesimpulan tentang ekumenisme para Reformator.  Studi-studi ekumenikal merupakan subjek persoalan yang sensitif dan melibatkan loyalitas subjektif yang tidak selalu diakui secara terbuka. 

Masalah subjektivitas ini merupakan problem metodologis dalam studi mengenai ekumenisme Calvin.  Sebelum melakukan pendekatan secara objektif mengenai posisi Calvin terhadap gereja Katolik Roma, pertama-tama kita harus menyadari presuposisinya yang mendasar dan harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat.  Menurut saya, dari perspektif para Reformator, terutama Calvin, pertanyaannya bukanlah apakah seharusnya ada reuni dengan gereja Roma, namun, dalam cara bagaimana gereja itu bisa direformasi ke dalam keadaannya yang lebih murni.  Ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa gereja Roma telah kehilangan status privilesenya sebagai gereja sejati. 

Richard Stauffer, menurut hemat saya, melakukan pendekatan yang tepat terhadap posisi Calvin berkenaan dengan gereja Roma.  Ia mengatakan, kita harus kembali ke latar belakang polemik-polemik abad ke-16 untuk memahami pemosisian Calvin tentang Reformasi berkaitan dengan gereja Roma.  “Dalam pandangan Reformator Jenewa itu, sesungguhnya hal itu merupakan masalah pembedaan antara gereja yang sejati dan yang palsu.”[1]  Ia bersikeras bahwa hanya ada satu gereja katolik kudus [p. 38] dan bahwa para Reformator tidak sedang menciptakan gereja yang lain.  Baginya, maksud dari Reformasi adalah untuk mereformasi gereja Roma, bukannya membentuk gereja yang lain.  Ia mengakui bahwa jemaat-jemaat Protestan memang telah muncul sebagai akibat dari Reformasi, namun semuanya ini merupakan bagian atau ungkapan dari gereja katolik yang satu dan kudus dan itu tidak dapat menghalangi seseorang dari persekutuan dengan orang-orang Kristen dari komunitas persekutuan lainnya.  Dengan kata lain, bagi Calvin, denominasionalisme sebagaimana yang kita kenal sekarang merupakan sebuah anomali.  Seharusnya ada partisipasi penuh dan pengakuan mutual serta penerimaan terhadap orang-orang Kristen dari jemaat manapun.  Calvin bahkan akan mengingkari gagasan tentang “Calvinisme.”  Dalam kesemuanya ini, baik dalam hal pendiriannya terhadap gereja Roma maupun relasinya dengan gereja-gereja Protestan, ia menjadikan jelas bahwa maksud dari Reformasi adalah untuk merestorasi gereja katolik yang satu dan kudus itu ke dalam keadaan yang lebih murni.  Menurut saya, setiap studi tentang sikap ekumenikal Calvin seharusnya bertolak dari maksud Reformasi ini.

Para sarjana baru-baru ini cenderung terfokus pada pertanyaan tentang apakah Calvin melakukan separasi atau mengupayakan kesatuan dengan gereja Roma.  Jean Cadier[2] dan Martin Klauber,[3] misalnya, yakin bahwa posisi Calvin adalah separasi dengan gereja Roma.  Bagi saya, “separasi” bukanlah kategori yang tepat karena mengandung ambiguitas tertentu di dalamnya.  Sebagaimana akan kita lihat terlibat adalah soal-soal yang lebih dalam daripada soal separasi dan Calvin bersikeras bahwa para Reformator bukanlah skismatik.  Cadier menyebut konferensi-konferensi dengan Katolik Roma di mana Calvin berpartisipasi dengan begitu aktif.  Jika pendirian Calvin terhadap gereja Roma pada intinya adalah separasi, satu pertanyaan perlu diajukan, biar bagaimanapun mengapa ia mau berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan seperti itu?  Di sisi lain, pengakuan iman fundamental Klauber presentasikan dapat, dan seharusnya, dilihat dengan cara berbeda, bukan hanya “sebagai basis untuk usaha persatuan eklesiastikal di antara berbagai kubu Protestan,”[4] namun juga sebagai dasar untuk diskusi dengan orang-orang Katolik. [p. 39]

Ada sekelompok sarjana lain[5] yang lebih positif memandang relasi Calvin dengan gereja Roma, dan percaya bahwa meski Calvin bersikap nonkompromis dalam keyakinan teologisnya, biar bagaimanapun ia tetap mengharapkan kesatuan gereja-gereja, termasuk gereja Roma.  John T. McNeill memberikan analisa historis yang baik mengenai usaha-usaha ekumenikal Calvin dan menyimpulkan bahwa ia tidak akan mengalah untuk apa yang ia anggap sebagai kebenaran hakiki, guna memperoleh kedamaian di antara gereja dan menegakkan kebersamaan di antara mereka.  Namun McNeill juga setuju dengan kebanyakan sarjana Calvin bahwa ia akan menyambut dengan senang hati setiap kesempatan berunding guna membentuk relasi maksimum dengan setiap gereja, termasuk gereja Roma.[6]  I. John Hesselink tiba pada kesimpulan serupa dengan McNeill, meskipun melalui pendekatan berbeda. 

Menurut Robert M. Kingdon posisi Calvin bersifat terbuka dan sikap ini bisa dia pakai sebagai pendekatan ekumenical.  Kingdon mengakui adanya kesepakatan antara Katolikisme Tridentine dan Protestantisme ortodoks dan ini dapat dipelajari oleh semua orang yang berusaha memahami kepedulian Protestan yang dalam agar semua doktrin Kristen terkokoh berdasar pada Alkitab.[7]  Casteel melihat reaksi Calvin terhadap konsili Trent dalam konteks pemikiran konsiliar sang Reformator.  Ia menyimpulkan, “Reformator Jenewa itu melihat harapan terbaik akan adanya rekonsiliasi dalam sebuah konsili yang benar-benar ekumenikal—sebuah proyek yang ia perjuangkan hingga akhir hidupnya.”[8]

Pada dasarnya saya mengikuti kelompok kedua yang berpendapat bahwa Calvin bersikap nonkompromi dalam keyakinannya, kendati demikian ia tetap mengharapkan reformasi gereja Roma yang akan mengarah pada kesatuan.  Saya akan mencoba menunjukkan hal ini dengan cara yang belum pernah ditempuh sebelumnya, yakni, menganalisa jawaban Calvin terhadap tuduhan Katolik Roma bahwa para Reformator adalah skismatik.  Artikel ini berisi sebagai berikut: tuduhan skismatik dari Katolik Roma terhadap para Reformator, pemahaman Katolik Roma tentang kesatuan, respons Calvin atas tuduhan skisma, dan akhirnya, pada bagian kesimpulan, pengertian Calvin tentang kesatuan gereja, yang diintisarikan dari [p. 40] responsnya terhadap tuduhan skisma dan dari Institutes.  Yang pertama dari tiga bagian ini akan diambil terutama dari traktat-traktat dan risalah-risalah yang berhubungan langsung dengan polemik-polemik Calvin-Roma Katolik.[9]  Semua isu yang dipresentasikan dalam artikel ini, tentu saja, terdapat dalam Institutes, dengan demikian, saya akan mengutip bagian-bagian Institutes yang paralel dan relevan pada catatan kaki. 

TUDUHAN SKISMA ROMA KATOLIK 

Tuduhan skisma paling menonjol dalam surat yang ditulis oleh uskup Roma, Sadoleto, kepada senat dan masyarakat Jenewa (1539).  Dalam surat ini, Sadoleto mengambil kesempatan dalam peristiwa pengusiran Calvin dari Jenewa untuk membujuk penduduk Jenewa agar kembali ke sisi gereja Roma.  Ia menggambarkan para Reformator sebagai musuh-musuh kesatuan dan kedamaian Kristen, yang menabur benih-benih perselisihan, dan membuat jemaat Kristus yang setia berbalik dari jalan bapa-bapa dan para leluhur mereka.[10]  Ia membandingkan mereka seperti abses, “by which some corrupted flesh being torn off, is separated from the spirit which animates the body, and no longer belongs in substance to the body Ecclesiastic.”[11]  Paus Paulus III dalam suratnya kepada raja Charles V (1544) melukiskan para Reformator sebagai pengacau yang senang dengan pertikaian: “Nay, they rather entirely deprive the Church of all discipline, and of all order, without which no human society can be governed.”[12]

Sadoleto, dalam surat yang sama, meragukan ajaran-ajaran para Reformator sebab ajaran itu merupakan inovasi yang baru tercipta, yang usianya baru 25 tahun.  Ia mengagungkan kemuliaan usia Gereja Katolik Roma yang menurutnya telah hadir selama lebih dari 1500 tahun dan [p. 41] mengklaim bahwa bapa-bapa leluhur gereja berada di pihaknya.  Klaim atas otoritas bapa-bapa leluhur gereja merupakan salah satu pokok persengketaan dalam polemik Calvin-Gereja Roma.  Bagi Sadoleto, yang menjadi soal perdebatan adalah apakah ia harus mengikuti Gereja Katolik Roma kuno ataukah membenarkan para pendatang baru yang skismatik itu.  “Inilah tempatnya, saudara yang terkasih, inilah jalan raya di mana jalan itu terbagi ke dua arah, yang satu mengarah pada kehidupan, dan yang lain pada kematian abadi.”[13]  Ini merupakan seruan kepada orang Katolik untuk memisahkan diri dari para Reformator, sebuah seruan yang semata-mata dibuat berdasar pada otoritas gereja, dan tradisi yang diwarisi dari para orang tua.  Dasar seruan ini dibuat menjadi lebih eksplisit melalui gambaran Sadoleto tentang dua pilihan, atau dua cara, dengan menghadirkan dua orang yang diuji di hadapan Allah.  Orang pertama, anggap saja seorang Katolik yang setia, akan mengakui imannya berdasar otoritas Gereja Katolik dengan semua hukum, nasihat dan dekritnya.  Ia tampil di hadapan Allah berdasar pada ketaatannya pada gereja bapa-bapanya dan bapa-bapa leluhurnya.  Dalam pengakuannya terefleksikan tuduhan tanpa bukti terhadap para Reformator: 

And though new men had come with the Scripture much in their mouths and hands, who attempted to stir some novelties, to pull down what was ancient, to argue against the Church, to snatch away and wrest from us the obedience which we all yielded to it, I was still desirous to adhere firmly to that which had been delivered to me by my parents, and observed from antiquity, with the consent of most holy and most learned Fathers.[14]

Kesetiaan kepada gereja merupakan definisi dari hirarki Katolik tentang orang Kristen yang baik, karena di dalam gerejalah keselamatan kekal seseorang yang setia paling terjamin.  Paulus III dalam surat tersebut di atas menasihati raja Charles V untuk tidak memberi kelonggaran pada kelompok Protestan dan tetap berpegang pada otoritas gereja: 

But, dear son, everything depends on this, that you do not allow yourself to be withdrawn from the unity of the Church, that you do not backslide from the custom of the most religious Princes, your forefathers, but in everything pertaining to the discipline, order, and institutions of the Church, pursue the course by which you have, for many years, given the strongest proofs of heart-felt piety.[15] [p.42]

Selanjutnya, Sadoleto menggambarkan orang yang lain, anggaplah mewakili para Reformator, sebagai seorang yang iri dan dengki pada kekuasaan dan privilese hirarki Roma.  Kegagalan para Reformator untuk berbagi kekayaan eklesiastikal telah menggerakkan mereka untuk menyerang gereja dan “induced a great part of the people to contemn those rights of the Church, which had long before been ratified and inviolate.”[16]  Sadoleto menuduh bahwa mereka semata-mata memberontak otoritas konsili, bapa-bapa gereja, para Paus Roma dan tradisi-tradisi.[17]  Impresi yang ingin dibentuk oleh Sadoleto adalah pemberontak Reformed itu mengklaim bahwa mereka tahu lebih banyak dari ajaran-ajaran kuno, namun rasa frustrasi karena kegagalan mereka untuk mengubah gereja akhirnya membuat mereka memecah-belah gereja.  Pernyataan terakhir sang Reformator yang merasa tidak puas itu, seperti digambarkan oleh Sadoleto, mengatakan demikian, “Having thus by repute for learning and genius acquired fame and estimation among the people, though, indeed, I was not able to overturn the whole authority of the Church, I was, however, the author of great seditions and schisms in it.”[18]

Di samping itu, tuduh Sadoleto, para Reformator bukan hanya memecah gereja tetapi mereka juga mengoyak-ngoyaknya.  Ia mengamati bahwa sejak masa Reformasi sekte-sekte berkembang biak  “Sects not agreeing with them, and yet disagreeing with each other-a manifest indication of falsehood, as all doctrine declares.”[19]  Pemecahan dan pengoyakan gereja yang kudus itu, menurut Sadoleto, sepantasnya adalah pekerjaan setan, bukan pekerjaan Allah.

PEMAHAMAN KATOLIK ROMA MENGENAI KESATUAN 

Tuduhan skisma yang sama dilakukan dalam Adultero-German Interim (1548),[20] meskipun tidak langsung seperti dalam surat-surat Sadoleto dan Paulus III.  Menurut dekrit imperial ini ada dua tanda yang membedakan gereja dari kawanan skismatik dan bidat, yaitu kesatuan dan katolisitas.  Di sini kesatuan dijabarkan sebagai ikatan kasih dan damai yang mempersatukan [p. 43] anggota-anggota gereja bersama-sama.[21]  Perhatikan bahwa dalam kesatuan tersebut tidak disebutkan adanya fondasi doktrinal dan spiritual, kecuali ketaatan yang keras terhadap ajaran dan disiplin gereja.  Lebih jauh lagi, gereja Roma menyombongkan diri sebagai katolik melalui klaimnya atas ekspansi geografis dan temporal serta suksesi apostolik: “diffused through all times and places, and through means of the Apostles and their successors, continued even to us, being propagated by succession even to the ends of the earth, according to the promises of God.”[22]  Skismatik dan bidat-bidat, sebagaimana dituduhkan kepada para Reformator, “break the bond of peace, and to their own destruction deprive themselves of Catholic union, while they prefer their own party to the whole universal Church.”[23]  Untuk memelihara kesatuan dan integritas gereja Katolik seseorang harus tunduk pada otoritasnya dengan kerendahan dan ketaatan.  Sadoleto mengungkapkan sikap demikian: 

For we do not arrogate to ourselves anything beyond the opinion and authority of the Church; we do not persuade ourselves that we are wise above what we ought to be; we do not show our pride in contemning the decrees of the Church; we do not make a display among the people of towering intellect or ingenuity, or some new wisdom; but (I speak of true and honest Christians) we proceed in humility and in obedience, and the things delivered to us, and fixed by the authority of our ancestors, (men of the greatest wisdom and holiness) we receive with all faith, as truly dictated and enjoined by the Holy Spirit.[24] 

Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa bagi gereja Roma kesatuan tidak lain dari sikap tunduk, yang menjadi dasar klaim infalibilitas dan otoritas gereja.  Terhadap dasar inilah sekarang kita beralih.

Kesatuan gereja, menurut Katolik Roma, bertumpu pada infalibilitasnya.  Hal ini terungkap jelas dalam Articles Agreed Upon by the Faculty of the Sacred Theology of Paris (1542).[25]  Artikel XVIII menyatakan, [p. 44]

Every Christian is bound firmly to believe, that there is on earth one universal visible Church, incapable of erring in faith and manners, and which, in things which relate to faith and manners, all the faithful are bound to obey.”[26] 

Dari artikel ini jelas terbukti bahwa otoritas gereja merupakan otoritas hierarki.  Hierarki diidentifikasikan dengan gereja yang kelihatan, yang infalibel.  Karena visibilitas gereja didasarkan atas visibilitas hierarki, yang belakangan juga dianggap sebagai infalibel.  Bukti kedua untuk infabilitas hierarki (dan karena itu otoritasnya juga) adalah suksesi yang terus-menerus dari Petrus.  Karena doktrin inilah apapun yang telah ditentukan oleh gereja Roma bersifat otoritatif.  Selanjutnya hal ini didukung oleh klaim bahwa gereja dipimpin secara langsung oleh Roh Kudus.  Karena Roh Kudus tidak dapat salah, maka gereja pun demikian.[27]

Infalibilitas gereja merupakan dasar otoritas gereja.  Itu merupakan perisai yang tak terkalahkan, seperti dinyatakan dalam artikel XVII, yang melindungi gereja dari serangan oleh musuh-musuhnya.  Di atas dasar inilah bertumpu doktrin-doktrin dan kekuatan gereja.  Artikel-artikel berikut[28] memperlihatkan otoritas infalibel gereja yang berakar dari artikel XVIII yang mendahuluinya: 

Article XIX: That to the visible Church belongs definitions in doctrine.  If any controversy or doubt arises with regard to any thing in the Scriptures, it belongs to the foresaid Church to define and determine 

Article XX: It is certain that many things are to be which are not expressly and specially delivered in the sacred Scriptures, but which are necessarily to be received from the Church by tradition 

Article XXI: With the same full conviction of its truth ought it to be received, that the power of excommunicating is immediately and of divine right granted to the Church of Christ, and that, on that account, ecclesiastical censures are to be greatly feared [p. 45]

Article XXII: It is certain that a General Council, lawfully convened, representing the whole Church, cannot err in its determination of faith and practice 

Article XXIII: Nor is it less certain that in the Church militant there is, by divine right, a Supreme Pontiff whom all Christians are bound to obey, and who, indeed, has the power of granting indulgences 

Semua artikel iman ini dimaksudkan untuk memelihara kesatuan gereja, yang menurut pemahaman hierarki gereja Roma, berdasar pada infalibilitas dan otoritas gereja.  Calvin menolak semua ini dalam polemik-polemiknya dengan gereja Roma.  Sebelum kita melihat penolakannya terhadap artikel-artikel iman Paris ini, kita akan menganalisa responsnya atas tuduhan skisma dari hierarki Katolik Roma terhadap para Reformator.

FIRMAN ALLAH DAN GEREJA: RESPONS CALVIN TERHADAP TUDUHAN SKISMA 

Isu mendasar berkaitan dengan tuduhan skisma adalah pemahaman tentang gereja.  Pada prinsipnya Calvin sependapat dengan Sadoleto bahwa tidak ada yang lebih membahayakan bagi keselamatan kita daripada ibadah yang sia-sia dan menentang aturan Allah.  Ia menganggap prinsip ini sebagai batu loncatan bagi pembelaannya atas tuduhan Sadoleto.  Namun pertanyaannya, menurut Calvin, dari dua pihak ini manakah yang memelihara ibadah yang benar pada Allah?  Bagi Sadoleto, tulis Calvin, ibadah yang benar pada Allah adalah seperti yang ditentukan oleh gereja.  Namun, Calvin mengangkat satu pertanyaan serius untuk penggunaan kata “gereja” oleh Sadoleto dan para pengikut Paus.  Calvin menuduh Sadoleto memiliki delusi tentang istilah “gereja,” atau paling tidak, secara sadar ia memberikan keterangan yang nampaknya mengesankan tetapi palsu.  Dalam The Necessity of Reforming the Church Calvin mendesak audiensinya untuk tidak takut terhadap penggunaan kata “gereja” oleh para pengikut Paus.[29]  Para nabi dan rasul telah berjuang melawan “gereja pura-pura” pada masa mereka.  Mereka juga dituduh telah menghina kesatuan gereja.  Namun pertanyaannya, gereja yang mana?  Bagi Calvin tidaklah cukup hanya menggunakan nama gereja, seperti yang dilakukan para pengikut Paus [p. 46] yang berusaha mengejutkan orang-orang dengan memutarbalikkan istilah gereja.  “Penilaian harus dilakukan untuk memastikan yang mana gereja sejati, dan apa natur kesatuannya.”[30]

Menurut Calvin, ada dua tanda gereja yang sejati: pemberitaan firman yang setia dan pelaksanaan sakramen yang tepat.  Berkaitan dengan kesatuan gereja, hal yang perlu diperhatikan pertama-tama adalah berhati-hati agar gereja tidak terpisah dari Kristus, Kepalanya.[31]  Ia menjabarkan apa yang ia maksud dengan Kristus, “Apabila saya mengatakan Kristus, termasuk dalam pengertiannya adalah doktrin-Nya, yang Ia meteraikan dengan darah-Nya.”[32]  Melalui kesatuan antara gereja dan Kristus inilah Calvin menyangkal bahwa ia dan para Reformator tidak sependapat dengan gereja.[33]  Tuduhan skisma harus dianggap sebagai ketaatan kepada Kristus daripada kepada gereja Roma.  Dalam The Method of Giving Peace to Christendom and Reforming the Church, Calvin, mengutip Hilary, yakin bahwa satu-satunya kedamaian gereja adalah yang berasal dari Kristus, ikatan kedamaian adalah kebenaran injil.[34]  Jadi, implikasi kesatuan itu diekspresikan demikian: “Wherefore, if we would unite in holding a unity of the Church, let it be by a common consent only to the truth of Christ.”[35]  Selanjutnya, dalam Remarks on the Letter of Pope Paul III (to the Emperor Charles V), ia mengusulkan sebuah pembedaan antara gereja yang sejati dan yang palsu berdasar pada kesetiaan kepada Kristus, yang merupakan dasar kesatuan. 

Let Farnese (Pope) then show that Christ is on his side, and he will prove that the unity of the Church is with him.  But seeing it is impossible to adhere to him without denying Christ, he who turns aside from him makes no departure from the Church, but discriminates between the true Church and a church adulterous and false.[36] [p. 47]

Calvin menekankan firman Allah dalam pemahamannya tentang gereja.  Yang ia maksud dengan gereja yang “from incorruptible seed begets children for immortality, and, when begotten, nourishes them with spiritual food (the seed and food being the Word of God).”[37]  Tempat bagi firman Allah adalah sesuatu yang hilang dalam pengertian gereja Roma.  Kepada Sadoleto ia menyatakan, 

In defining the term, you omit what would have helped you, in no small degree, to the right understanding of it.  When you describe it as that which in all parts, as well as at the present time, in every region of the earth, being united and consenting in Christ, has been always and every where directed by the one Spirit of Christ, what comes of the Word of the Lord, that clearest of all marks, and which the Lord himself, in pointing out the Church, so often recommends to us?  For seeing how dangerous it would be to boast of the Spirit without the Word, he declared that the Church is indeed governed by the Holy Spirit, but in order that that government might be not be vague and unstable, he annexed it to the Word of God.[38] 

Bagi Calvin, Roh dan firman tidak dapat dipisahkan.  “Learn, then by your own experience, that it is no less unreasonable to boast of the Spirit without the Word, than it would be absurd to bring forward the Word itself without the Spirit.”[39]  Dengan prinsip ini, ia memberikan definisi yang lebih benar tentang gereja yaitu “sebuah masyarakat dari semua orang kudus, sebuah masyarakat yang menyebar ke seluruh dunia, dan hadir di sepanjang zaman, namun terikat bersama-sama oleh satu doktrin, dan satu Roh Kristus, yang mempererat dan memelihara kesatuan iman dan harmoni persaudaraan.”[40]  Berdasarkan definisi ini ia membuat klaim yang pasti tentang kesatuan: “With this Church we deny that we have any disagreement.  Nay, rather, as we revere her as our mother, so we desire to remain in her bosom.”[41]  Calvin menyatakan bahwa para Reformator menganggap kesatuan gereja sebagai sesuatu yang kudus dan mereka menyampaikan kutuk terhadap semua yang dengan cara apapun melanggarnya.[42]  Ia memahami kesatuan sebagai sesuatu yang berakar dari prinsip Kitab Suci, “satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua.”  Ia mencirikan iman dengan mengatakan, “Lebih [p. 48] jauh, kita harus ingat apa yang dikatakan dalam perikop lain, ‘bahwa iman datang dari firman Allah.’  Karena itu, biarlah itu menjadi poin yang pasti bahwa kesatuan yang kudus hadir di antara kita, ketika kita sepakat dalam doktrin yang murni, kita dipersatukan dalam Kristus saja.”[43]  Syarat kedamaian adalah “kebenaran Allah yang murni, suara dari Sang Gembala saja,” sedangkan “terhadap suara orang-orang asing penjaga menentang dan menolaknya.”[44]  Melalui ini ia menekankan kesepakatan doktrinal lebih dari sekadar ketaatan eksternal kepada gereja.  Ia memberikan komentar terhadap perkataan Paulus di Efesus 4:12-15,

Could he [Paul] more plainly comprise the whole unity of the Church in a holy agreement in a true doctrine, than when he calls us back to Christ and to faith, which is included in the knowledge of him, and to obedience to the truth?[45]

PELAYANAN GEREJA DAN FIRMAN ALLAH 

Salah satu isu yang Calvin bahas dengan Sadoleto adalah masalah jabatan-jabatan gereja.  Calvin memperhatikan dari surat Sadoleto bahwa Sadoleto menuntut ketaatan dan kesetiaan kepada pejabat-pejabat gereja dengan landasan bahwa mereka dianugerahkan otoritas.  Calvin mengoreksi gagasan yang keliru ini.  Baginya, otoritas dan kekuasaan orang-orang yang ditunjuk untuk jabatan gereja dibatasi dalam limit-limit tertentu sesuai jabatan mereka menurut firman Allah.  Dalam limitasi ini Kristus membatasi penghormatan yang Ia haruskan untuk diberikan kepada para rasul dan, karena itu, juga kepada para gembala.  Tugas utama para gembala adalah memberitakan dan mengajarkan sabda Tuhan guna memajukan gereja.  Inilah satu-satunya tujuan kekuasaan rohani, yakni “to avail only for edification, to wear no semblance of domination, and not to be employed in subjugating faith.”[46]  Paus, meskipun mengklaim sebagai pengganti Petrus, juga tidak dibebaskan dari limitasi ini.  Kemerosotan disiplin di antara klergi (para saserdote) Roma, menurut pengamatan Calvin, adalah salah satu alasan mengapa gereja telah jatuh ke dalam kondisi yang menyedihkan.  Disiplin gereja memiliki beberapa implikasi bagi kesatuan gereja karena, menurut Calvin, agar gereja bersatu harus diikat bersama-sama melalui disiplin sebagaimana halnya dengan badan yang diikat otot-ototnya.  Dalam hal ini, ia menuduh balik para [p. 49] pejabat Katolik Romalah, yang telah menghancurkan integritas gereja melalui penyalahgunaan jabatan eklesiastikal; merekalah yang menabur benih-benih perpecahan.  Ia secara tegas menyangkal tuduhan Sadoleto yang mengatakan bahwa para Reformator melepaskan diri dari kuk tirani gereja  agar mereka sendiri bebas untuk melakukan tindakan amoral yang tak terkendalikan.[47]

Dalam The Necessity of Reforming the Church, Calvin mengevaluasi pertanyaan tentang suksesi yang berhubungan dengan masalah disiplin gereja, dan dengan demikian, seperti telah kita lihat di atas, berhubungan juga dengan kesatuan gereja.  Mengenai hubungan antara kontinuitas (atau suksesi) dan kesatuan Calvin mengatakan, “no one, therefore can lay claim to the right or ordaining, who does not, by purity of doctrine, preserve the unity of the Church.”[48]  Pernyataan ini merupakan reaksi terhadap klaim Katolik Roma bahwa hanya merekalah yang memiliki hak dan kekuasaan untuk menahbiskan orang-orang ke dalam pelayanan gereja dan menentukan bentuk ordinasinya.  Para pengikut Paus menyebut kanon-kanon kuno yang mereka klaim telah memberi mereka superintendensi untuk masalah-masalah mengenai para biskop dan uskup.[49]  Suksesi yang konstan telah dilimpahkan kepada mereka, bahkan itu berasal dari para rasul.  Mereka menyangkal bahwa jabatan itu bisa ditransfer secara sah kepada orang lain.  Dengan demikian, berkaitan dengan klaim suksesi ini para Reformator yang menjalankan pelayanan tanpa otoritas Katolik Roma, telah merampas kekuasaan eklesiastikal dan telah melakukan invasi terhadap wewenang hierarki Katolik Roma.[50]

Calvin membantah klaim suksesi ini dengan menyatakan bahwa suksesi apostolik telah lama diinterupsi dengan klerikus Katolik Roma. 

But if we consider, first, the order in which for several ages have been advanced to this dignity, next the manner in which they conduct themselves in it, and lastly, the kind of persons whom they are accustomed to ordain, and to whom they commit the government of churches, we shall see that this succession on which they pride themselves was long ago interrupted.[51] 

Ia menguraikan tiga kategori aturan penunjukan para uskup, cara bagaimana mereka mengatur diri mereka sendiri dalam jabatan itu, jenis orang yang mereka tunjuk.[52]  Pertama, oleh karena hierarki Katolik telah merebut [p. 50] bagi diri mereka sendiri kekuasaan tunggal untuk menunjuk para klerikus, Calvin mendebatnya bertitik tolak dari sejarah gereja, “the magistracy and people had a discretionary power (arbitrium) of approving or refusing the individual who was nominated by the clergy, in order that no man might be intruded on the unwilling or not consenting.”[53]  Dalam hal cara para uskup mengatur diri mereka sendiri, ia bersikeras agar siapapun yang mengatur gereja, hendaknya ia juga mengajar.[54]  Tujuan Kristus dalam menunjuk para uskup dan gembala adalah, seperti dinyatakan Paulus, agar mereka mengajar gereja dengan doktrin yang sehat.  Menurut pendapat ini, seorang gembala gereja yang baik tidak mungkin tidak melaksanakan tugas mengajar.[55]  Ia mengamati bahwa para uskup tidak melaksanakan tugas mengajar ini dengan setia.  “As if they had been appointed to secular dominion, there is nothing they less think of than episcopal duty.”[56]  Tidak mengherankan jika kemudian orang-orang yang mereka promosikan untuk mendapat kehormatan sebagai imam adalah mereka yang memiliki karakter serupa.  Calvin menuntut dengan tegas, seharusnya ada eksaminasi yang ketat terhadap kehidupan dan doktrin mereka yang ingin menjadi pendeta, seperti yang sekarang dilakukan di gereja-gereja para Reformator.[57]  Mengenai upacara ordinasi, Calvin berargumen bahwa praktek Katolik Roma tidak bersumber dari Alkitab.[58]  “Satu-satunya yang kita baca, seperti yang biasa dilakukan pada zaman kuno, adalah penumpangan tangan.”[59] 

Hal yang sangat kritis dalam semua klaim suksesi apostolik ini adalah doktrin injil yang murni.  Ia merangkum keprihatinannya ini dengan mengatakan, “Setiap orang yang melalui tingkah lakunya memperlihatkan bahwa ia adalah musuh dari doktrin yang sehat, apapun gelar yang mungkin ia banggakan, ia telah kehilangan semua otoritasnya dalam gereja,”[60] dan karena itu juga tidak bisa mengklaim suksesi apostolik.  Pertanyaan-pertanyaan ini begitu signifikan karena telah menggoncangkan fondasi utama gereja Roma. [p.51]

KESATUAN DAN FIRMAN ALLAH 

Pemahaman yang benar mengenai gereja dalam relasinya dengan firman Allah, batasan-batasan dan tujuan jabatan dan disiplin otoritas gereja, serta suksesi apostolik yang tepat telah meletakkan dasar bagi pembelaan Calvin terhadap tuduhan skisma dan bidat.  Dalam jawabannya kepada Sadoleto, ia membuat pembelaan ini dengan mempertentangkan pengakuan dari orang Kristen Reformed dengan kesetiaan Katolik yang dipaparkan oleh Sadoleto.  Reformator itu mengaku bahwa tidak ada hal lain yang ia lakukan kecuali percaya bahwa tidak ada kebenaran yang dapat mengarahkan jiwa seseorang menuju jalan kehidupan selain daripada apa yang dikobarkan melalui firman itu.  Segala hal lain yang berasal dari penemuan manusia adalah kesombongan yang sia-sia dan pemberhalaan.  

Calvin berusaha menghadirkan dan menguraikan apa yang ia percaya sebagai doktrin yang murni dan kebenaran injil.  Melalui hal ini ia memperjelas bahwa tujuan para Reformator adalah untuk kebangkitan gereja kembali.  Ia memperhatikan bahwa sejumlah besar kebenaran dari doktrin kenabian dan evangelikal telah musnah dan telah “diusir dengan kasar oleh api dan pedang”[61] dalam Gereja Roma.  Ia menolak tuduhan Sadoleto bahwa semua yang coba dilakukan oleh para Reformator hanyalah untuk menghancurkan semua doktrin sehat yang telah disetujui oleh orang-orang beriman selama lima belas abad.  Calvin menjelaskan dengan gamblang bahwa para Reformator jauh lebih sesuai dengan zaman awal kekristenan dibandingkan dengan Gereja Roma,[62] dan Sadoleto sendiri tidak dapat menyangkali hal ini. 

Bagi Calvin, bentuk gereja yang telah diinstitusikan oleh para rasul merupakan satu-satunya model yang benar, dan bentuk kuno gereja itu yang dibuktikan dalam tulisan-tulisan bapa-bapa gereja kini telah menjadi puing-puing.  Ia memperjelas tujuan tindakan para Reformator adalah untuk memperbarui gereja dan kepentingan untuk melakukan hal itu bukan disebabkan oleh imoralitas dari keuskupan Roma, seperti yang diklaim oleh Sadoleto.  Menurut Calvin, hal yang membuat para Reformator melakukan reformasi adalah karena “cahaya kebenaran ilahi itu telah dipadamkan, firman Allah telah dikubur, kebaikan Kristus tertinggal dalam pengabaian yang dalam, [p. 52] dan jabatan gembala ditumbangkan.”[63]  Dengan berjuang menentang kejahatan-kejahatan seperti itu, mereka tidak berperang melawan gereja, melainkan justru mereka mendampingi gereja di tengah penderitaannya yang sangat.[64]  Ia bertanya kepada Sadoleto dengan tajam, apakah seseorang yang “sangat giat untuk kesalehan dan kekudusan seperti pada zaman gereja mula-mula, dan yang tidak puas dengan kondisi yang ada dalam suatu gereja yang terpecah dan rusak, yang berusaha untuk memperbaiki kondisi gereja dan merestorasinya sehingga mencapai kemegahan yang sejati” itu akan ia anggap sebagai musuh?[65]  Pastor Jenewa itu menyebut dua tanda dari gereja yang telah disebutkan di atas dan bertanya kepada kardinal Katolik itu, “dengan yang manakah dari hal-hal ini yang kalian ingin kami gunakan untuk menilai gereja?”[66]

Apa yang disebut skisma oleh orang-orang Katolik Roma, Calvin menyatakannya sebagai usaha para Reformator untuk membawa gereja yang terdisintegrasi itu kepada kesatuan.[67]  Ia membuat sebuah analogi menarik antara orang yang melakukan reformasi dan seseorang yang mengangkat panji pimpinan militer untuk memanggil prajurit-prajurit yang terpencar agar kembali ke pos mereka.  Pemimpin militer itu adalah Kristus dan prajurit-prajurit yang terpencar itu ialah para pemimpin gereja.  Orang yang mengangkat bendera pemimpin itu adalah Reformator dan diangkatnya bendera itu menandakan sebuah panggilan bagi kesatuan, yang diekspresikan Calvin dengan tajam, 

In order to bring them together, when thus scattered, I raised not a foreign standard, but that noble banner of thine whom we must follow, if we would classed among thy people . . .  Always, both by word and deed, have I protested how eager I was for unity.  Mine, however, was a unity of the Church, which should begin with thee and end in thee.  For as oft as thou didst recommend to us peace and concord, thou, at the same time, didst show that thou wert the only bond for preserving it.  But if I desired to be at peace with those who boasted of being the [p. 53] heads of the Church and pillars of faith, I behoved to purchase it with the denial of thy truth.  I thought that any thing was to be endured sooner than stoop to such a nefarious paction.[68] 

Calvin menyamakan para klerus Roma dengan serigala yang sangat lapar dan nabi-nabi palsu yang diprediksikan oleh Kristus akan ada di antara umat-Nya.  Tindakan para Reformator dibandingkan dengan pelayanan para nabi zaman kuno, yang tidak dianggap sebagai pemecah-belah ketika mereka berharap untuk membangkitkan kembali suatu agama yang telah mengalami dekadensi.  Mereka tetap berada di dalam kesatuan gereja,[69] “walaupun mereka ditetapkan untuk dihukum mati oleh para pendeta yang jahat, dan dianggap tidak layak memperoleh suatu tempat di antara manusia . . .”[70]  Dari sini jelaslah bahwa motif para Reformator bukanlah untuk memecah-belah gereja melainkan untuk memperbaruinya dan memimpin kelompok-kelompok Kristen ke dalam kesatuan.[71]  Baginya ada perbedaan besar antara “skisma dari gereja dan belajar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di mana gereja itu sendiri juga telah terkontaminasi.”[72]  Skisma muncul ketika gereja Roma menolak untuk dikoreksi: 

Thou, O Lord, knowest, and the fact itself has testified to men, that the only thing I asked was, that controversies should be decided by thy word, that thus both parties might unite with one mind to establish thy kingdom; and I declined not to restore peace to the Church at the expense of my head, if I were found to have been unnecessarily the cause of tumult.  But what did our opponents . . .  Did they not spurn at all methods of pacification?[73] 

Ia mengakhiri jawabannya kepada Sadoleto dengan sebuah doa yang merefleksikan esensi responsnya atas tuduhan skisma Katolik Roma terhadap para Reformator: 

The Lord grant, Sadolet(o), that you and all your party may at length perceive, that the only true bond of Ecclesiastical unity would exist if Christ the Lord, who hath reconciled us to God the Father, were to gather us out of our present dispersion into the fellowship of his body, that so, through his one Word and Spirit, we might join together with one heart and one soul.[74] [p. 54]

OTORITAS GEREJA DAN FIRMAN ALLAH 

Kini kita akan mempertimbangkan Response (or Antidote) to Articles Agreed Upon by the Faculty of Sacred Theology of Paris (1543)-nya Calvin.  Walaupun kepentingan utama dari artikel itu adalah untuk menentukan doktrin-doktrin yang harus diajarkan dan dipercayai, artikel ini memiliki implikasi-implikasi penting bagi pemahaman Katolik Roma mengenai kesatuan.  Artikel-artikel inilah yang mendefinisikan gereja Katolik yang satu dan kudus.  Apa yang mereka sebar luaskan adalah cara Katolik Roma berjuang dengan kekuatan-kekuatan yang memecah-belah di dalamnya; artikel-artikel ini dimaksudkan untuk “menenangkan gelombang opini yang menentang.”[75]  Prolog dari artikel-artikel ini menyebutkan peringatan Paulus untuk kesatuan dalam kitab Efesus, yaitu agar mereka jangan “seperti anak-anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran.”  Menanggapi hal ini Calvin memberikan antidot pertama di mana ia menekankan firman Allah, dan bersikeras bahwa inilah (firman Allah) yang menjadi otoritas satu-satunya untuk menyelesaikan atau memutuskan kontroversi-kontroversi.  Ia menyebutkan beberapa bagian dari Alkitab dan bapa-bapa leluhur gereja untuk membuktikan bahwa otoritas satu-satunya yang membuat gereja tetap bereksistensi adalah firman Allah.  Ia menyimpulkan,

Oleh karena itu, di tengah pertanyaan-pertanyaan yang bertentangan di masa sekarang ini, marilah kita mengikuti nasihat yang menurut Theodoret, (Lib. I. Hist. Eccles. cap. 7) diberikan oleh Constantine kepada para uskup di konsili Nicea—marilah kita mencari kebulatan hati dari sabda Allah yang murni.”[76]

Otoritas Alkitab menjadi sangat berarti ketika kita memperhatikan cara Calvin meletakkannya di atas dan terhadap otoritas gereja seperti yang diajukan dalam Artikel-artikel Iman, khususnya bab XVIII-XXIII, oleh Facultas Teologi di Paris.  Dengan berdasar pada otoritas Alkitab ia menantang klaim gereja mengenai otoritas.  Pada Artikel XVII, bersama dengan orang-orang Katolik Roma, ia mengakui bahwa hanya ada satu gereja yang universal.  Kendati demikian, pertanyaan yang lebih krusial bagi Calvin adalah bagaimana seseorang mengenali penampakan dari gereja.  Jawabannya sederhana, yaitu firman Allah.  “Kita menempatkannya di dalam firman Allah, atau, dengan kata lain, karena Kristus adalah kepalanya, kita percaya bahwa gereja harus dilihat dalam Kristus sebagaimana seseorang [p. 55] dikenali melalui wajahnya.”[77]  Apa yang ia maksud dengan firman Allah dan Kristus adalah pemberitaan injil.  Baginya, pemberitaan injil dan visibilitas Kristus dan gereja saling berkorelasi.  “Sebagaimana pemberitaan injil yang murni tidak selalu dinyatakan, maka wajah Kristus pun tidak selalu menarik perhatian”[78] demikian juga gereja tidak selalu dapat dilihat.[79]  Orang-orang Katolik Roma mendasarkan visibilitas dan otoritas dari gereja Katolik yang satu pada hierarkinya, sedangkan Calvin mendasarkannya pada pemberitaan firman itu.[80]

Pada Artikel XIX, berkenaan dengan otoritas gereja yang visibel untuk mendefinisikan dan menentukan isu-isu kontroversial, Calvin menantang pemikiran bahwa gereja yang visibel selalu benar seperti yang kita bisa lihat dalam sejarah.  Sikap ini berbahaya karena mereka “yang menerima definisi gereja yang visibel tanpa penilaian, dan tanpa terkecuali, bisa membuat seseorang terpaksa menyangkal Kristus.”[81]  Sekali lagi ia memberi penekanan pada firman untuk menyelesaikan perbantahan. 

“Jika muncul pertikaian di antara gereja-gereja, kita mengakui bahwa metode yang sah untuk menciptakan keharmonisan, yang selalu dicari-cari, adalah para pendeta itu berkumpul, dan mendefinisikan dari firman Allah tentang apa yang harus diikuti.”[82]

Pada artikel XX, berkaitan dengan hal-hal yang tidak diungkapkan secara jelas dan khusus di dalam Alkitab namun bagaimanapun juga harus dipercaya dan diterima oleh gereja melalui tradisi, Calvin mengutip Agustinus dan Chrysostom selain daripada Alkitab, segala sesuatu yang penting untuk keselamatan telah dinyatakan kepada kita dan hal-hal selain injil tidak boleh dipercaya.

Berkaitan dengan kekuasaan untuk mengekskomunikasikan, dalam artikel XXI Calvin mengakui bahwa kekuasaan untuk mengekskomunikasi telah diserahkan kepada gereja, tetapi begitu pula cara penggunaannya telah ditentukan (dalam firman Allah).  Ini berarti ekskomunikasi harus dilakukan melalui “mulut Allah” dan tujuannya haruslah untuk pertumbuhan kerohanian/kebaikan.[83]  Hal ini jelas merupakan sebuah kontrol atau pembatasan terhadap [p. 56] penyalahgunaan kekuasaan ini yang dilakukan oleh hierarki Katolik yang, Facultas Teologi di Paris akui, tidak boleh mempersoalkan apakah ekskomunikasi itu adil asal itu dilakukan dalam nama-Nya (Kristus).[84]

Artikel XXII menyatakan bahwa otoritas konsili-konsili tidak dapat salah asal Paus memimpinnya dan bentuk-bentuk legal serta protokol dipelihara sebagaimana mestinya.  Terhadap hal ini Calvin menekankan otoritas atau kepemimpinan Kristus.  Ia tidak percaya konsili apapun yang hanya bersidang menurut aturan-aturan manusia sebagaimana mestinya, melainkan jika konsili itu dikumpulkan dalam nama Kristus.  Maksudnya, Kristuslah yang memimpin, karena jika tidak konsili-konsili itu dipimpin berdasarkan pemikiran mereka sendiri dan karena itu yang mereka lakukan tidak lain dari kesalahan.  Sebuah konsili yang berkumpul di dalam nama Kristus dipimpin oleh Roh Kudus, dan di bawah bimbingan-Nya, dipimpin kepada kebenaran.[85]

Hal ini mengarah pada pertanyaan mengenai keutamaan Paus dalam Artikel XXII.  Artikel ini lebih merupakan suatu pertahanan terhadap serangan kepada kepausan oleh kaum Lutheran, yang bersikeras bahwa batu karang itu adalah Kristus sebagai dasar gereja, menyangkal suksesi kepausan, dan tidak mau mengakui keutamaan Roma.  Bagi Calvin, Kristuslah kepala gereja yang universal, bukannya Paus.  Di dalam Alkitab tidak disebutkan mengenai pelayanan Paus, dan rasul Paulus pun tidak berfikir bahwa gereja itu merupakan satu keuskupan yang universal.  “Sebagai penghargaan atas kesatuan, ia (Paulus) menyebut satu Tuhan, satu iman, satu baptisan (Ef. 4:11).  Mengapa ia [p. 57] tidak menambahkan satu Paus sebagai kepala pelayanan?”[86]  Ia menggambarkan relasi antara Petrus dan Paulus dan rasul-rasul yang lain, dan dalam relasi itu tidak ada isyarat bahwa Petrus superior dibanding yang lain.[87]  Bagi Calvin, gereja adalah tubuh Kristus di mana kepada setiap anggotanya diberikan “suatu ukuran yang pasti dan fungsi tertentu serta terbatas agar kekuasaan yang utama dari pemerintah terletak hanya pada Kristus.”[88]  Dalam keutamaan Kristus yang universal inilah terletak kesatuan dan katolisitas gereja, yang telah terbukti kebenarannya oleh bapa-bapa gereja, antara lain Cyprian dan Gregory.  Cyprian secara khusus membuat analogi-analogi tentang satu cahaya (light) dengan banyak berkas cahaya (rays), satu batang yang ditunjang oleh akarnya dan memiliki banyak cabang, satu sumber air dan banyak sungai, “demikian juga halnya dengan gereja, dengan diliputi cahaya dari Tuhan, ia mengirim berkas-berkas cahayanya tersebar ke mana-mana; gereja juga memperbanyak cabang-cabangnya, ia mencurahkan sungai-sungai turun ke seluruh dunia; namun tetap semuanya itu berasal dari satu kepala dan satu sumber.”[89]  Calvin berkomentar bahwa, menurut Cyprian, keuskupan Kristus adalah satu-satunya yang universal, dan mengajarkan agar bagian-bagian itu dipegang oleh para pelayan-Nya.[90] 

KESIMPULAN 

Polemik-polemik Calvin dengan Roma mengenai tuduhan skisma tidak diragukan lagi telah menghasilkan refleksi-refleksi yang sangat dalam mengenai gereja dan kesatuannya.  Isu dasarnya adalah pemahaman tentang gereja, tetapi tidak terlepas dari Kristus dan firman Allah.  Gereja adalah milik Kristus dan dipersatukan di dalam Dia.  Hal ini paling jelas terlihat melalui pemberitaan injil dan pelaksanaan sakramen-sakramen yang tepat.  Di dalam firman itulah terletak otoritas Gereja.  Semua kuasa dan fungsi pelayanan gereja dibatasi dalam firman Allah.  Jabatan gereja, disiplin, dan aturan suksesi diatur oleh Roh Kristus menurut firman Allah dan [p. 58] semuanya itu dimaksudkan guna memajukan gereja.  Calvin dan para Reformator percaya bahwa gereja Roma telah mengkorupsi doktrin injil yang murni, menyalahgunakan kekuasaannya, dan mempromosikan segala jenis takhayul.  Oleh karena itu, tujuan yang jelas dari para Reformator adalah membantu memulihkan atau memperbarui gereja Roma kepada keadaannya yang lebih murni sesuai pola gereja mula-mula seperti yang dikenal oleh bapa-bapa leluhur gereja.  Calvin menganggap tuduhan skisma terhadap mereka sebagai suatu pertanyaan untuk memilih Kristus atau gereja Roma.  Itu adalah pertanyaan mengenai yang manakah gereja sejati itu.  Karena para Reformator taat kepada Kristus dan firman-Nya, mereka tetap berada dalam satu gereja yang sejati, dan oleh sebab itu mereka tidak dapat dianggap memisahkan diri dari gereja atau memecah-belah gereja.

Calvin mencintai Gereja seperti ia mencintai Kristus; kedua hal ini tidak dapat dipisahkan.  Ia mengabdikan seluruh buku IV dari Institutes untuk menguraikan secara terperinci mengenai gereja Katolik yang kudus.  Ia menyebut gereja itu sebagai ibu kita, karena Allah telah menyerahkan kita kepadanya untuk membawa kita bertumbuh di dalam iman.[91]  Oleh karena itu, sangat penting untuk mengenalnya dan tidak mengabaikannya.  Mereka yang tidak memiliki hubungan dengannya berarti juga tidak memiliki hubungan dengan Kristus, dan oleh karena itu mereka tidak memiliki keselamatan.  Mereka yang mengabaikannya adalah orang-orang yang murtad, orang-orang yang membelot dari kebenaran dan dari keluarga Allah, mereka adalah penyangkal-penyangkal Allah dan Kristus.  Calvin percaya bahwa gereja terdiri dari semua orang pilihan Allah, termasuk mereka yang telah meninggal dunia.  Gereja adalah katolik atau universal, yang berarti gereja adalah satu. 

All the elect of God are so joined togethter in Christ, that as they depend on one head, so they are as it were compacted into one body, being knit together like its different members; made truly one by living together under the same Spirit of God in one faith, hope, and charity, called not only to the same inheritance of eternal life, but to participation in one God and Christ.[92] 

Sekalipun Calvin berbicara mengenai gereja yang tidak kelihatan, ia tidak mengabaikan berbicara tentang manifestasinya yang kelihatan, tentang jemaat lokal.  Ia juga memberi perhatian besar untuk memperlihatkan karakternya yang visibel, yang ditandai terutama sekali dengan kesatuan: [p. 59]

This article of the Creed relates in some measure to the external Church, that every one of us must maintain brotherly concord with all the children of God, give due authority to the Church and, in short, conduct ourselves as sheep of the flock.  And hence the additional expression, the “communion of the saints;” . . . just as it had been said, that saints are united in the fellowship of Christ on this condition, that all the blessings which God bestows upon them are mutually communicated to each other.[93] 

Tetapi kesatuan ini, agar terpelihara, harus diikat dengan aturan yang telah ditentukan Allah[94] dan dengan kebenaran doktrin ilahi.[95]  Hal ini mungkin memberi kita suatu kesan bahwa Calvin adalah seorang pendeta yang tidak fleksibel.  Namun bagaimanapun juga ia mengakui bahwa ketidaksempurnaan bisa timbul di dalam pemberitaan injil dan pelaksanaan sakramen-sakramen.  Ia membuat pembedaan antara doktrin-doktrin yang fundamental dengan yang sekunder (adiaphora), dan menyatakan bahwa semuanya ini tidak memiliki nilai yang sama.[96]  Semua perbedaan minor ini dalam cara apapun seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengabaikan gereja atau untuk menciptakan kelompok lain.  “What I say is, that we are not on account of every minute difference to abandon a church, provided it retain sound and unimpaired that doctrine in which the safety of piety consists.”[97]  Ia juga tidak merekomendasikan agar seseorang meninggalkan gereja karena adanya penyelewengan moral di antara para anggotanya.  “Kita terlalu sombong bila kita dengan segera membenarkan diri untuk keluar dari persekutuan gereja, karena kehidupan semua orang tidak sesuai dengan penilaian kita, atau bahkan dengan pernyataan Kristen.”[98]

Dari presentasi pandangan Calvin mengenai gereja dan kesatuannya, jelaslah bahwa perbedaan-perbedaan antara para Reformator dan Gereja Roma pada hakikatnya bersifat fundamental, dan bahwa natur dari Reformasi pada dasarnya bersifat pembaharuan.  Tetapi Calvin juga banyak berbicara menentang denominasionalisme dan fundamentalisme yang kaku, yang begitu tidak fleksibelnya sehingga hanya karena ketidaksepakatan doktrinal yang minor dan bahkan karena konflik-konflik pribadi, mereka memecah-belah atau memisahkan diri dari gereja.  Boleh dibilang Calvin adalah seorang injili yang ekumenikal.


 

Notes: 

[1]The Quest for Church Unity from John Calvin to Isaac d’Huisseau (Allison Park: Pickwick, 1986) 3.  Pendirian ini dan yang saya anut mirip dengan pendiriannya Daniel Lukas Lukito dalam artikelnya “Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi,” Veritas 2/2 (Oktober 2001) 149-157.  Bdk. G. C. Berkouwer, “Calvin and Rome,” John Calvin: Contemporary Prophet, A Symposium (ed. Jacob T. Hoogstra; Grand Rapids: Baker, 1959) 185.  Untuk pengertian Calvin mengenai kebenaran, lih. Charles Partee, “Calvin’s Polemic: Foundational Convictions in the Service of God’s Truth” dalam Calvinus Sincerioris: Calvin as Protector of the Purer Religion (Sixteenth Century Essays and Studies vol. XXXVI; ed. Wilhelm Neuser & Brian G. Armstrong; Kirksville: Sixteenth Century Journal) 97-122.

[2]“Calvin and the Union of the Churches” dalam John Calvin (ed. G. E. Duffield; Grand Rapids: Eerdmans, 1966) 118.

[3]“Calvin on Fundamental Articles and Ecclesiastical Union,” Westminster Theological Journal 54 (1992) 342-343.

[4]Ibid. 341.

[5]John T. McNeill, “Calvin as an Ecumenical Churchman,” Church History 32 (1963) 379 dst.  Robert M. Kingdon, “Some French Reactions to the Council of Trent,” Church History33 (1964) 149 dst.; I. John Hesselink, “Calvinus Oecumenicus: Calvin’s Vision of the Unity and Catholicity of the Church” dalam Reformed World XXX; Theodore W. Casteel, “Calvin and Trent: Calvin’s Reaction to the Council of Trent in the Context of His Conciliar Thought,” Harvard Theological Review 63 (1970) 91 dst.

[6]“Calvin as an Ecumenical Churchman,” 390-391.

[7]“Some French Reactions,” 151.

[8]“Calvin and Trent,” 117.  Untuk pendapat kontra lih. Robert E. McNally, “The Council of Trent and the German Protestants,” Theological Studies 25 (1964) 1-22.

[9]H. Beveridge memberikan introduksi yang baik untuk The Tracts and Treatises on the Reformation of the Church by John Calvin (3 vol.; tr. Henry Beveridge; Grand Rapids: Eerdmans, 1958) v-xli.  Referensi selanjutnya bersumber dari buku ini, kecuali jika saya sebutkan lain.  Untuk diskusi tentang risalah polemik Calvin, lih. Francis Higman, “I Came Not to Send Peace, but a Sword” dalam Calvinus Sincerioris 123-135.

[10]Tracts and Treatises 1.4, 5.

[11]Ibid. 14.

[12]Ibid. 240.  Surat Paus Paulus III kepada Raja Charles V (1544) merupakan teguran kepada sang Raja yang membuat kelonggaran, meskipun hanya memberikan sedikit keringanan dari tuduhan yang tidak adil kepada kaum Protestan, dan yang telah mengambil yurisdiksi dalam masalah-masalah agama yang berada di luar lingkup jabatannya.  Paulus III “complains that the Emperor, in claming illegal jurisdiction, had committed two sins: first, he had presumed, without consulting him, to promise a Council; and secondly, he had not hesitated to undertake an investigation alien to his office.”  Ibid. 238.  Calvin membuat tanggapan yang tajam mengenai surat ini (1544) di mana ia mengekspos hipokrisi Paus, menunjuk pada fakta bahwa semua Konsili besar gereja pada masa-masa awal diputuskan bukan oleh para Paus ataupun Bishop, namun oleh Raja.

[13]Ibid. 16.

[14]Ibid. 16, 17.

[15]Ibid. 239.

[16]Ibid. 17, bdk. h. 5.

[17]Ibid.

[18]Ibid. 18.

[19]Ibid. 19.

[20]Diumumkan secara resmi oleh Raja Charles V, Interim diduga sebagai rencana kompromis antara orang-orang Katolik dan Protestan selama menunggu keputusan konsili umum.  Kecuali artikel-artikel tentang Communion mengenai jenis dan pernikahan para imam, konstitusi imperial itu condong ke arah Katolik Roma.  Apa yang dinamakan Common States (negeri-negeri Katolik) yang tetap setia kepada gereja Roma harus terus memelihara ordonansi-ordonansi dan anggaran dasar gereja yang universal, yakni: Katolik Roma dan States (negeri-negeri Protestan) tersebut yang telah memeluk apa yang disebut inovasi-inovasi itu diperingatkan untuk menghubungkan diri mereka sendiri kembali dengan Common States, dan sepakat dengan mereka dalam memelihara anggaran dasar dan upacara-upacara gereja Katolik yang universal (Tracts and Treatises 3.192.)

[21]Ibid. 205.

[22]Ibid.

[23]Ibid.

[24]Tracts and Treatises 1.11.

[25]Sorbonne Theological Faculty pada 1543, dengan otoritas Francis I, menyusun dan menerbitkan 25 artikel yang menolak ajaran Reformasi.  Calvin menyangkal dan menerbitkan artikel-artikel tersebut pada tahun 1544.  Di dalamnya ia memberikan teks dari setiap artikel diikuti dengan komentarnya terhadap artikel tersebut.  Dengan status magisterial, artikel-artikel tersebut menentukan bahwa doktrin-doktrin itu mengikat dan harus diajar oleh para doktor dan pendeta dan dipercayai oleh orang-orang yang setia.  Bahwa gereja adalah ekuivalen atau di atas Alkitab, terungkap secara eksplisit dalam dokumen ini.  “The place ought to have very great authority in the Church; and although our masters are deficient in proofs from Scripture, they compensate the defect by another authority which they have, viz., that of the Church, which is equivalent to Scripture, or even (according to the Doctors) surpassed it in certainty.”  Ibid. 71, 72.

[26]Ibid. 101.

[27]Ibid. 102.

[28]Ibid. 103-112

[29]Tracts and Treatises 1.212.  “The Necessityof Reforming the Church” dipresentasikan di hadapan Imperial Diet di Spires pada 1544, menyampaikan sebuah “Supplicatory Remonstrance” kepada raja Charles V, sehubungan dengan konsili umum gereja menurut cara gereja mula-mula.  Bdk. Institutes IV.ii.2, 4.

[30]Ibid. 213.

[31]Ibid.  Dalam Institutes IV.i.2-7, Calvin mengacu kepada gereja bukan hanya gereja yang terlihat tetapi juga orang-orang pilihan Allah.  Pemilihan sebagai dasar kesatuan gereja bukanlah tema umum dalam polemik-polemiknya dengan gereja Roma.  Bdk. Arthur C. Cochrane, “The Mystery of the Continuity of the Church: A Study in Reformed Symbolics,” Journal of Ecumenical Studies 2 (1965) 81-96.  Cochrane mencatat bahwa menurut pengajaran Reformed misteri kontinuitas gereja terdapat dalam pilihan dan panggilannya di dalam dan oleh Yesus Kristus.

[32]Ibid.

[33]Bdk. Institutes IV.ii.2.

[34]Tracts and Treaties 3.240.  Salah satu traktat terpenting dan serupa isinya dengan “The Necessity of Reforming the Church,” “The True Method of Giving Peace to Christendom and of Reforming the Church” (1547) adalah penolakan Calvin terhadap “The Adultero-German Interim.”

[35]Ibid. 266.

[36]Tracts and Treatises 1.259.

[37]Ibid. 214.

[38]Tracts and Treatises 1.35.

[39]Ibid. 37.

[40]Ibid.

[41]Ibid.  Bdk. Institutes IV.i.1.

[42]Ibid. 214.

[43]Ibid. 215.  Bdk. Institutes IV.ii.5.

[44]“The True Method of Giving Peace,” Tracts and Treatises 3.242.

[45]Ibid.

[46]Ibid. 52.  Bdk. “Confession of Faith in the Name of the Reformed Churches of France” dalam Tracts and Treatises 2.150-152; Institutes IV.iii.6.

[47]Ibid. 54.

[48]Ibid. 174.  Bdk. Institutes IV.iii.10-12.

[49]Ibid. 170.  Bdk. Institutes IV.ii.3.

[50]Ibid. 172.

[51]Ibid. 171.

[52]Institutes IV.ii.1-3.

[53]Tracts and Treatises 1.172.  Bdk. Institutes IV.v.2.  Pada zaman sebelum Calvin, pemerintah dengan masyarakat memiliki kekuasaan dalam pengangkatan dan penolakan pejabat gerejawi.

[54]Ibid. 170.

[55]Ibid. 140.

[56]Ibid. 172.  Bdk. 197, 198, 203, 204, 219; Institutes IV.v.1.

[57]Ibid. 170, 171, 204, 205.  Bdk. “On Ceremonies and the Calling of the Ministers” dalam Calvin Ecclesiastical Advice (tr. Mary Beaty & Benjamin W. Farley; Louisville: Westminster/John Knox, 1991) 90, 91.

[58]Ibid. 171, 175.

[59]Ibid. 174.  Bdk. Institutes IV.iii.16.

[60]Ibid. 173.

[61]Ibid. 38.

[62]Ibid. 37-39, 48, 49, 66.  Calvin sering menyebut bapa-bapa gereja untuk menyangkal tuduhan bahwa pengajaran para Reformator itu adalah inovasi-inovasi dan merupakan sesuatu yang baru.  Ia tidak hanya yakin bahwa bapa-bapa gereja ada di pihaknya, tetapi ia juga yakin bahwa mereka adalah oposisi bagi gereja Roma sekarang.  Untuk studi yang lebih jelas mengenai Calvin dan bapa-bapa gereja, lihat Anthony N. S. Lane, John Calvin: Student of the Church Fathers (Grand Rapids: Baker, 1999).

[63]Ibid. 49.  Suatu pembelaan yang lebih singkat terhadap tuduhan skisma itu tetapi dalam konteks berbeda diberikan dalam “On Book One (of Pighius)” dalam The Bondage and Liberation of the Will: A Defense of the Orthodox Doctrine of Human Choice Against Pighius (ed. A. N. S. Lane; tr. G. I. Davies; Grand Rapids: Baker, 1996) 7-34.  Karya itu (1543) adalah respons Calvin terhadap karya Albert Pighius, Ten Books on Human Free Choice and Divine Grace (1542), yang merupakan sebuah evaluasi atas Institutes-nya Calvin (edisi 1539), khususnya bab 2 dan 8: “The Knowledge of Humanity and Free Choice, dan “The Predestination and Providence of God” secara berturut-turut.

[64]Ibid.

[65]Ibid.

[66]Ibid.

[67]Bdk. Institutes IV.ii.2.

[68]Tracts and Treatises, 1.59.

[69]Ibid. 60.  Bdk. Institutes IV.ii.9, 10.

[70]Ibid.  Bdk. Institutes IV.ii.10.

[71]Ibid. 67.

[72]Ibid. 63.  Bdk. Institutes IV.ii.5

[73]Ibid.

[74]Ibid. 68.

[75]Tracts and Treatises 1.71.

[76]Ibid. 73.  Bdk. Institutes IV.ii.10; IV.viii.5.

[77]Ibid. 102.  Bdk. Institutes IV.viii.7.

[78]Ibid.

[79]Ibid.

[80]Bdk. G. C. Berkouwer, “Calvin and Rome” 185.  Berkouwer menganggap pertanyaan mengenai otoritas gereja sebagai isu utama terhadap apa yang diarahkan Calvin dalam polemik-polemiknya.

[81]Ibid. 104.

[82]Ibid.

[83]Ibid. 106.  Bdk. Institutes IV.xii.5.

[84]Ibid.

[85]Ibid. 108.  Bdk. Institutes IV.viii.10, 11; IV.ix.1-4.  Dalam The Necessity of Reforming the Church and Canon and Decrees of the Council of Trent, with the Antidote Calvin tidak melihat adanya pengharapan di dalam konsili bersidang atas inisiasi Paus.  Dalam traktatnya yang pertama ia menyerukan kepada raja Charles V untuk mengadakan konsili persidangan propinsi, yang memiliki preseden sejarah.  “Sesering bidat-bidat baru muncul, ataupun gereja diganggu oleh beberapa perselisihan, bukankah merupakan suatu kebiasaan untuk segera mengadakan persidangan sinode secara propinsi, sehingga gangguan itu kemudian dapat diakhiri?  Tidak pernah menjadi suatu kebiasaan untuk lagi-lagi mengadakan konsili umum sampai suatu cara lain telah diusahakan.”  Tracts and Treatises 1.223.  Di dalam pendahuluan antidotnya terhadap konsili Trent, Calvin memunculkan pertanyaan-pertanyaan serius mengenai persidangan dari konsili itu.  Ia mengangkat pertanyaan mengenai masalah waktu, komposisi Trent, prosedur-prosedur, dan tujuannya.  Menyadari bahwa Paus telah menentukan semua hal ini sebelumnya, Calvin membuang semua harapan akan adanya reformasi di gereja Roma.  “Apakah ini?  Seluruh dunia mengharapkan adanya sebuah konsili di mana butir-butir yang bertentangan bisa tetap didiskusikan.  Orang-orang ini mengakui bahwa mereka hadir tidak lain hanya untuk menghakimi apapun yang tidak sesuai dengan pikiran mereka.  Dapatkah seseorang tetap sedemikian bodohnya dengan berpikir untuk mendapat bantuan atas kesusahan-kesusahan kita dari suatu konsili?” (dalam Tracts and Treatises 3.39.  Hal yang sama diungkapkan dalam artikel “If Christians Can be Given a Plan for a General Council” dalam Calvin’s Ecclesiastical Advice 46-48.

[86]Ibid. 110.  Bdk. “Confession of Faith in the Name of the Reformed Churches of France” dalam Tracts and Treatises 2.150, 151; Institutes IV.vi.10.

[87]Bdk. Institutes IV.vi.4.

[88]Ibid. 111.  Bdk. Institutes IV.vi.1, 3, 6.

[89]Ibid. 112.  Bdk. Institutes IV.ii.6; IV.iv.16, 17.

[90]Ibid.  Bdk. “The Necessity” 218, di mana Calvin menentang keutamaan Paus berdasarkan pada pemikiran apakah gereja Roma adalah gereja sejati dan apakah Paus adalah uskup yang benar.  Demi kepentingan argumentasi jika kita mengatakan “bahwa keutamaan itu adalah dicurahkan secara ilahi pada Keuskupan Roma, dan telah didukung oleh persetujuan bersama dari gereja mula-mula; kendati demikian keutamaan ini hanya mungkin jika Roma memiliki gereja dan juga uskup yang sejati.  Karena penghormatan terhadap kursi jabatan tersebut tidak bisa tetap bertahan setelah kursi jabatan itu tidak ada lagi.”

[91]Institutes IV.i.5.

[92]Ibid. IV.i.2.  Bdk. “Cathechism of the Church of Geneva” (1541, 1545) dalam Tracts and Treatises 2.50, 51.

[93]Ibid. IV.i.3.

[94]Ibid. IV.i.5.

[95]Ibid. IV.i.9.

[96]Ibid. IV.i.12.

[97]Ibid.

[98]Ibid. IV.i.18.