VERITAS  3/1 (April 2002) 15-24


DOKTRIN PILIHAN
DARI PERSPEKTIFE REFORMED KONTEMPORER*

 HENRY EFFERIN

PENDAHULUAN

Doktrin pilihan adalah doktrin utama yang paling kontroversial dalam tradisi Reformed.  Sebetulnya doktrin ini mempunyai akar yang jauh mulai dari Perjanjian Lama.  Konsep mengenai umat Israel sebagai umat pilihan sangat jelas dikemukakan Musa dalam kitab Ulangan 7:6-8, “Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya . . . .”  Masalah yang sering diperdebatkan ialah bagaimana umat Israel mengerti peran dan fungsinya tersebut.  Namun dalam pembahasan kali ini saya lebih menitikberatkan pada beberapa tokoh yang berpengaruh dalam sejarah gereja, sebelum nanti akan membahas pandangan Reformed yang lebih kontemporer dalam pendekatan terhadap doktrin pilihan ini.

AGUSTINUS 

Teologi Agustinus berpusatkan pada anugerah (grace).  Karena keselamatan adalah anugerah maka manusia tidak bisa memperolehnya dengan mengandalkan pada jasa atau perbuatan baik, sebab kalau demikian halnya maka keselamatan adalah upah dan bukan lagi anugerah.  Memang pandangan Agustinus memberikan sumbangsih yang besar bagi perkembangan teologi kekristenan.  Namun implikasi dari pandangan ini mempunyai sisi negatif yang tidak semua orang bisa menerimanya.  Karena keselamatan adalah pemberian, maka sang pemberi (Allah) harus bebas dalam mendistribusikannya.  Dengan kata lain, pemberian tersebut tidak didasarkan pada kualifikasi tertentu dari sang penerima yang mengakibatkan adanya kondisi tertentu di mana si pemberi menjadi terikat dan berkewajiban untuk memberikannya.  Namun masalahnya, anugerah keselamatan tidak [p. 16] diberikan kepada setiap orang.  Karena bersifat anugerah maka Tuhan mempunyai hak untuk memberikan kepada sebagian orang dan “menahannya” terhadap sebagian orang yang lain.  Dari sinilah timbul konsep bahwa anugerah keselamatan itu bukan universal melainkan partikular.

Pandangan Agustinus di atas sejalan dengan konsepnya mengenai dosa, yaitu manusia sudah tercemar oleh dosa sehingga tidak mampu melepaskan diri dari belenggu dosa tersebut.  Implikasi dari perpaduan konsep dosa dan keselamatan sebagai anugerah menjadi semakin jelas.  Manusia yang terbelenggu oleh dosa itu hanya bisa diselamatkan dengan anugerah, sedangkan anugerah itu tidak universal, sehingga hanya sebagian orang saja yang menerima anugerah itu yang diselamatkan.  Agustinus menjelaskan bahwa ini tidak berarti bahwa Allah menetapkan sebagian orang untuk binasa, tetapi maksudnya adalah, Allah memilih sebagian orang untuk diselamatkan dari keseluruhan manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa tersebut.  Dengan kata lain, mereka yang binasa bukan secara aktif oleh Tuhan dipredestinasikan demikian, mereka hanya tidak dipilih untuk diselamatkan.  Namun mereka yang mengkritik Agustinus sulit menerima hal ini, karena keputusan untuk menyelamatkan sebagian orang berarti dengan sadar melewatkan yang lain, ini berarti juga membiarkan yang lain menuju kebinasaan.[1]  Implikasi dari pemikiran Agustinus ini sudah mulai dikembangkan secara konsisten oleh Godescalc pada abad ke-9.  Ia dengan jelas mengembangkan doktrin predestinasi ganda (double predestination, yang kemudian dipopulerkan oleh Calvin dan para pengikutnya).  Godescalc melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa tidak tepat kalau dikatakan bahwa Kristus mati untuk semua, karena jika demikian maka kematian Kristus itu tidak efektif dan menjadi sia-sia bagi sebagian orang yang tidak dipilih.  Karena itu kematian Kristus hanya bagi mereka yang dipilih saja.  Dari sinilah benih doktrin mengenai penebusan yang terbatas mulai dikembangkan.  Pada zamannya doktrin ini mendapat reaksi yang cukup keras dari kebanyakan pemikir pada waktu itu, tetapi pandangan ini mengemuka kembali dengan munculnya Calvin.

CALVIN 

Ada banyak orang yang beranggapan bahwa Calvin menjadikan doktrin pilihan dan predestinasi sebagai pusat dari sistem teologinya.  Namun kalau diperhatikan dalam Institutio, sebetulnya Calvin tidak terlalu banyak membahas hal ini.  Hanya 4 pasal (21-24) dari kitab ketiga yang membahas topik ini [p. 17] dibandingkan dengan 4 kitab yang ia tulis dengan jumlah keseluruhan 80 pasal.  Calvin sendiri menyadari bahwa predestinasi ganda adalah hal yang sulit diterima, ia menyebutnya sebagai “dreadful decree.”[2]  Namun ia merasa terdorong oleh data Alkitab yang cukup untuk membuktikan hal tersebut sehingga tidak bisa menyangkalinya.  “The predestination by which God adopts some to the hope of life, and adjudges others to eternal death, no man who would be thought pious ventures simply to deny.”[3]

Para pemikir yang mencoba menyelami teologi Calvin melihat bahwa penempatan doktrin pilihan dalam Institutio mempunyai makna tersendiri, yaitu Calvin membahasnya setelah pasal-pasal mengenai anugerah keselamatan.  Jadi setelah mengupas mengenai pembenaran oleh iman barulah Calvin beralih ke topik yang sulit yaitu predestinasi.

Dalam buku-buku sistematika teologi sekarang, pada umumnya doktrin pilihan selalu dikaitkan dengan doktrin Allah, yaitu sebagai bagian dari penetapan Allah di dalam kekekalan-Nya.  Namun Calvin rupanya mendekatinya secara induktif.  Jadi, berangkat dari pengalaman manusia di mana ada sebagian yang menerima sedangkan sebagian yang lain menolak injil, maka predestinasi adalah kilas balik atau refleksi dari hasil pengamatan terhadap respons manusia yang ditafsirkan berdasarkan data Alkitab.  Dengan demikian predestinasi bukanlah suatu pendekatan deduktif yang didasarkan pada konsep yang sudah ada sebelumnya mengenai kedaulatan dan kemahakuasaan Allah.  Dengan kata lain, bagi Calvin, predestinasi jangan dijadikan sebagai sesuatu doktrin abstrak berdasarkan penetapan Allah di dalam kekekalan-Nya, tetapi sebagai suatu refleksi atas misteri pengalaman manusia sebagaimana terlihat dari keragaman responsnya terhadap anugerah keselamatan tersebut.[4]  Walaupun Calvin tidak menjadikan predestinasi sebagai pusat dari sistem teologinya, tetapi perkembangan sejarah selanjutnya membawa ke arah yang berbeda.  Dengan tuntutan dan tantangan yang baru, maka para penerus pemikiran Calvin “merestrukturisasi” sistem pemikiran Calvin tersebut sebagaimana yang terlihat dari perkembangan Ortodoksi Reformed.  [p. 18]

ORTODOKSI REFORMED 

Alister McGrath mengatakan bahwa Institutio sebetulnya tidak tepat kalau dikatakan sebagai teologi sistematika seperti yang dimengerti oleh generasi selanjutnya.  Memang penyusunannya sistematis, tetapi bukan didasarkan pada prinsip logika yang spekulatif.  Tujuan Calvin menulisnya lebih kepada kebutuhan pengajaran (pedagogi) iman.[5]  Namun setelah ia meninggal, perkembangan dalam teologi Reformed selanjutnya lebih menuntut suatu metode yang logis dan sistematis.  Hal ini khususnya terlihat dalam pemikiran Theodore Beza.  Kalau pendekatan Calvin lebih induktif, yaitu dari fokus kepada diri Yesus Kristus baru kemudian mengembangkan implikasinya, maka Beza mulai dari prinsip yang umum kemudian secara deduktif menarik konsekuensinya bagi teologi Kristen.  Bagi Beza, prinsip umum sebagai starting point teologinya ialah pemilihan Allah.  Dari titik inilah Beza kemudian mengembangkan konsekuensi teologisnya.  Salah satu dampak logis dari sistem ini ialah dirumuskannya “penebusan yang terbatas” (limited atonement).  Urutan logis dari doktrin keselamatan yang dianut oleh Reformed ortodoksi tercermin dalam lima butir Calvinisme yang dirumuskan dalam Synod of Dort dan terkenal dengan sebutan TULIP:[6]

T     : total depravity (kerusakan total natur manusia sebagai akibat dosa)
U    : unconditional election (pemilihan tanpa syarat, tidak tergantung pada kondisi manusia)
L     : limited atonement (penebusan terbatas, Kristus mati hanya bagi yang dipilih)
I     : irresistable grace (anugerah yang tidak bisa ditolak/ditahan oleh yang memang sudah dipilih)
P     : perseverance of the saints (mereka yang dipilih akan bertahan sampai pada akhirnya)

KARL BARTH 

Di dalam lingkungan Reformed ortodoks, sampai abad ke-19 boleh dikatakan tidak ada terobosan yang terlalu berarti berkenaan dengan doktrin pilihan.  Kebanyakan teolog dalam lingkaran ini masih terjebak pada paradigma doktrin pilihan yang cenderung abstrak dan bersifat [p. 19] individualistik.  Senang atau tidak, perkembangan doktrin pilihan pada zaman sekarang ini sedikit banyak dipengaruhi oleh Barth.  Dalam Church Dogmatics volume 2, ia memberikan terobosan terhadap doktrin pilihan dengan memfokuskannya pada kristologi.  Dari penelaahan terhadap perikop Efesus 1:4-14, Barth menemukan bahwa pemilihan selalu dikaitkan dengan frase “di dalam Dia” (evn auvtw|).  “In its simplest and most comprehensive form, the doctrine of predestination consists of the assertion that the divine predestination is the election of Jesus Christ.”  Oleh karena itu, pemilihan “tidak harus dimulai in abstracto apakah dengan konsep bahwa Allah yang memilih atau manusia yang terpilih.  Ia harus dimulai secara konkret dengan pengakuan akan Yesus Kristus baik sebagai Allah yang memilih maupun manusia yang terpilih.”[7]  Lebih jauh Barth menegaskan bahwa oleh karena pemilihan Allah tidak bisa dilepaskan dari Yesus Kristus, maka Dialah satu-satunya yang dipilih Allah dan sekaligus yang ditolak.  Inkarnasi merupakan perwujudan dari komitmen Allah yang peduli terhadap manusia.  Dengan kata lain, Allah memilih diri-Nya sendiri di dalam Kristus untuk memikul kesengsaraan dan membayar harga yang mahal bagi penebusan umat manusia tersebut.  Di dalam penolakan terhadap Kristus di atas kayu salib itu, umat manusia telah diterima oleh Allah dan karenanya tidak ada lagi penolakan terhadap manusia.  Dengan pendekatan ini maka Barth menyingkirkan konsep mengenai adanya orang yang ditetapkan untuk binasa.  Memang banyak perdebatan mengenai implikasi dari konsep pemilihan yang kristosentris ini, banyak teolog yang melihat universalisme sebagai konsekuensi logis dari pemikiran Barth tersebut.  Walaupun ia sendiri pernah secara eksplisit menolak tuduhan ini, tetapi dari sistem teologinya agak sulit untuk mengklarifikasikan hal tersebut.  Rekan sezaman Barth sendiri yaitu Emil Brunner, melontarkan kritikan yang cukup keras kepadanya: 

What does this statement, “That Jesus is the only really rejected person,” mean for the situation of humanity?  Evidently this: That there is no possibility of condemnation . . . .  The decision has already been made in Jesus Christ-for all humanity.  Whether they know it or not, believe it or not, is not so important.  They are like people who seem to be perishing in a stormy sea.  But in reality they are not in a sea in which one can drown, but in shallow waters, in which it is impossible to drown.  Only they do not know it.[8] [p. 20]

Apakah tuduhan ini akurat atau tidak adalah persoalan lain, tetapi yang jelas Barth sudah meninggalkan legacy dalam doktrin pilihan, yaitu disingkirkannya konsep pemilihan yang abstrak dan individualistik, seolah-olah Allah telah menetapkan di dalam kekekalan individu-individu yang akan diselamatkan dan karenanya juga yang akan binasa.

DOKTRIN PILIHAN DALAM PERSPEKTIF KONTEMPORER 

Legacy Barth di atas membawa arah baru dalam studi terhadap doktrin pilihan.  Salah satu penulis yang membahas hal ini secara mengesankan dengan memberikan dasar-dasar Alkitabnya ialah William W. Klein.  Dalam bukunya The New Chosen People, Klein membahas semua ayat penting yang berhubungan dengan pemilihan baik, di dalam PL maupun PB.  Kesimpulan yang ia ambil, konsep pemilihan di dalam Alkitab yang utama adalah “corporate” (secara kolektif atau sebagai suatu komunitas).  Terkadang muncul pemilihan secara individu tetapi selalu dikaitkan dengan tugas khusus dalam pelayanan.  Hal ini terbukti dari pemilihan Abraham, Musa, para nabi, bahkan Yesus Kristus, kedua belas murid dan Paulus.  Hal tersebut ditambah dengan “mindset” manusia sekarang yang cenderung fungsional, maka kebanyakan para teolog Reformed kontemporer mengembangkan topik pemilihan di dalam jalur pelayanan dan persekutuan sebagaimana yang dilakukan Wolfhart Pannenberg.  Ia meringkaskan arti dipilih sebagai berikut: 

Karya pemilihan Allah di dalam sejarah secara normal mendorong yang terpilih ke dalam pelayanan bagi pembangunan dan pengembangan persekutuan yang lebih luas.  Oleh sebab itu individu-individu dipilih untuk mendapat bagian di dalam umat Allah dan untuk melaksanakan berbagai macam pelayanan di dalamnya, sementara umat Allah dipilih untuk menjadi saksi terhadap rencana penyelamatan dari sang Pencipta yang berkenaan dengan manusia secara keseluruhan.  Tujuan dari kehendak untuk menyelamatkan ini adalah persekutuan dengan Allah yang olehnya kita mendapat bagian kehidupan kekal Allah, sedangkan tujuan paralelnya adalah bahwa dengan persekutuan dengan Allah kita harus mencapai persekutuan yang sejati antarsesama manusia berdasarkan kesamaan hubungan dengan Allah.[9] 

Pendekatan Pannenberg terhadap pemilihan ini sesuai dengan munculnya konsep pemilihan yang pertama di dalam panggilan Abraham.  Di sini tekanan jatuh pada bagian terakhir Kejadian 12:3 (bdk. 17:5), “dan olehmu [p. 21] semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”  Dengan demikian, maksud yang terutama dari pemilihan bukanlah untuk menikmati status istimewa sebagai umat Allah, namun untuk menjadi berkat bagi semua bangsa di bumi.  Perjanjian Lama berulang kali mencatat bagaimana Israel selalu salah paham akan hakikat panggilan ini sehingga menganggapnya sebagai hak istimewa atau status yang lebih tinggi dari bangsa lain. 

Teolog lain yaitu Lesslie Newbigin, menekankan aspek pemilihan untuk melayani atau untuk mengintensifkan rencana keselamatan Allah di dunia ini.  Bagi Newbigin, mereka yang telah mengalami kasih Allah melalui pemilihan harus siap menderita untuk kemajuan kerajaan Allah sebagaimana yang ditunjukkan oleh Yesus Kristus sendiri.  Di sini saya mengutip kata-katanya yang agak panjang namun bermakna: 

Adalah sungguh-sungguh benar bahwa di dalam banyak perikop yang mengharukan di dalam PL kita diberi tahu tentang kasih Allah yang tak kunjung padam bagi Israel, tentang komitmen-Nya kepada kasih tersebut.  Namun kasih dan komitmen kepada Israel ini adalah sebagai instrumen rencana kasih Allah bagi semua bangsa, dan ketika Israel menginterpretasikan kasih Allah sebagai suatu izin untuk melakukan apa yang menyenangkan mereka, hukuman diberikan . . .  Sebagaimana yang diungkapkan di dalam cerita tersebut, tampak jelas bahwa menjadi umat pilihan Allah bukan berarti hak istimewa tetapi penderitaan, celaan, penghinaan.  Israel dipanggil untuk mewujudnyatakan penderitaan Allah atas dunia yang tidak taat di dalam kehidupannya sendiri.  Dan di dalam PB hal ini sampai pada manifestasi finalnya yaitu bahwa Dia yang dipilih Allah dipanggil untuk mengalami penderitaan terpedih, suatu kematian yang membawa kutukan Allah, untuk kepentingan semua orang.  Kita mengetahui bahwa kesalahpahaman yang membawa malapetaka mengenai apakah makna pemilihan Allah terus berlangsung melalui sejarah gereja dan sampai saat ini, sehingga orang-orang Kristen percaya bahwa sebagai orang Kristen mereka memiliki suatu klaim atas kasih Allah yang orang-orang lain tidak miliki.[10]

Mengantisipasi beberapa keberatan yang menentang pemahaman mengenai pemilihan ini, Newbigin melanjutkan dengan mendiskusikan Roma 11:17-21.  Tampaknya di sini tak terelakkan bahwa implikasi pemilihan ialah ada yang tidak dipilih.  Namun Newbigin, dengan mengutip kata-kata Paulus di ayat 20, sampai pada kesimpulan bahwa pemilihan harus membawa orang Kristen kepada suatu sikap pengucapan syukur bukannya pembenaran diri sendiri. [p. 22]

Anugerah pemilihan Allah terhadap sebagian orang untuk menjadi pembawa-pembawa keselamatan-Nya bagi semua orang, merupakan masalah kekaguman dan ketakjuban dan ucapan syukur: ia tidak pernah menjadi dasar untuk membuat klaim-klaim menyingkirkan yang lain.  Allah tidak memilih untuk menyelamatkan beberapa dan untuk memusnahkan yang lain . . .  Anugerah-Nya adalah bebas dan berdaulat, dan tidak ada tempat bagi suatu klaim eksekutif akan anugerah-Nya, suatu klaim yang olehnya orang lain disingkirkan.[11]

KESIMPULAN 

Pertentangan teologis mengenai apakah pemilihan itu abstrak dan individual atau historikal dan korporat masih jauh dari selesai.  Walau tren belakangan lebih dominan, tetapi dari kubu konservatif masih memberikan perlawanan yang gigih, salah satu buku terakhir dari kalangan yang mau mempertahankan konsep pemilihan yang tradisional yaitu Still Sovereign: Contemporary Perspectives on Election, Foreknowledge, and Grace.[12]  Barangkali kita perlu kembali melihat apa yang Alkitab katakan dengan mengesampingkan terlebih dahulu preferensi teologis kita.

Sebetulnya di dalam Alkitab harus diakui ada pemilihan yang sifatnya individual, misalnya Abraham (Kej. 12:1-3); Yakub (Mzm. 135:4); Yeremia (Yer. 1:4-8); dan beberapa yang lain seperti Musa, Daud, Yehezkiel dan sebagainya.  Ada juga imam yang dipilih yaitu Eli (1Sam. 2:27 dst.), tetapi pemilihan ini dapat dibatalkan karena dosa keluarga Eli.  Namun dari keseluruhan pemilihan yang bersifat individual, ada satu alur kesamaan, yaitu pemilihan tersebut selalu dikaitkan dengan tugas pelayanan tertentu.  Hal ini berbeda sekali dengan perdebatan yang selalu muncul dari implikasi pemilihan, seolah-olah karena ada yang dipilih maka ada yang tidak dipilih sehingga binasa.  Padahal justru mereka dipilih agar menjadi berkat bagi yang tidak dipilih.

Bagian yang terbesar di dalam Alkitab lebih berbicara mengenai pemilihan secara korporat.  Umat Israel dipilih secara kolektif (Kel. 19:5-6; Ul. 7:6, 10:15 dst.; 14:2; Yes. 41:8-9, dsb.).  Adakalanya individu tertentu ditolak, tetapi pilihan secara umat sebagai kelompok masih berlangsung (mis. dalam kasus raja Saul).  Konsep pemilihan secara kolektif ini semakin jelas ketika diceritakan bahwa dosa individu bisa mempengaruhi kehidupan umat secara keseluruhan (mis. dalam kasus Akhan, Yos. 7).  Dari data Alkitab tersebut dapat disimpulkan bahwa baik secara individu maupun kolektif, pemilihan selalu dikaitkan dengan tanggung jawab dan tugas sebagai umat Tuhan yang dipilih. [p. 23]

Konsep yang sama juga terdapat dalam Perjanjian Baru.  Pemilihan atau panggilan Yesus kepada murid-murid-Nya dikaitkan langsung dengan tugas pelayanan mereka (Mrk. 3:13-14).  Ini juga merupakan cara Paulus memandang pemilihannya sendiri.  Di dalam pernyataan yang paling eksplisit yang Paulus buat mengenai keberadaannya yang “dipisahkan dari lahir,” ia mengaitkannya dengan panggilan untuk membawa kabar baik kepada bangsa non-Yahudi (Gal. 1:15-16).  Mengenai pemilihan secara korporat terlihat jelas dari konsep mengenai umat perjanjian baru yang diperlakukan sebagai keturunan Abraham secara rohani atau Israel baru (Gal. 3-4; Rm. 4-5; juga 1Ptr. 2:9).

Satu bagian kontroversial yang sepertinya berbicara mengenai pemilihan individu kepada keselamatan atau kebinasaan ialah Roma 9-11, khususnya ayat 13-14, “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau,” “Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan . . . “  Tetapi bagian ini kalau diteliti, jelas tidak bisa dipisahkan dengan konteks besar dari keseluruhan 3 pasal tersebut yang berbicara tentang keselamatan secara kolektif dari umat Israel dan karena penolakannya maka anugerah injil justru tersebar kepada bangsa-bangsa non-Israel.  Di samping itu, kutipan Roma 9:13 diambil dari Maleakhi 1:2-3 (dengan latar belakang Kej. 25:22 dst.) yang berbicara mengenai berkat umum yang Allah sampaikan juga secara kolektif kepada keturunan Yakub, yaitu bangsa Israel, dan keturunan Esau, yaitu suku Edom.  Dengan demikian sulit untuk bisa memakai Roma 9:13-14 sebagai dasar konsep pemilihan individu menuju keselamatan atau kebinasaan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan data Alkitab di atas, maka secara umum saya lebih cenderung kepada posisi pemilihan yang korporat dan historikal (walaupun tidak menyangkali adanya pemilihan secara individual).  Pemahaman-pemahaman mengenai doktrin pilihan yang kontemporer cukup revolusioner.  Ia merupakan terobosan terhadap konsep pemilihan yang telah diperdebatkan sepanjang sejarah gereja.  Banyak orang telah merasakan keeksklusifan pemahaman tradisional mengenai pemilihan yang sulit diharmoniskan dengan karakter kasih dan keadilan Allah seperti yang disaksikan Alkitab.  Kadang-kadang, karena teolog-teolog telah lama berada di bawah bayang-bayang kerangka berpikir ini, mereka tidak mengetahui bagaimana berurusan dengan perikop-perikop Alkitab yang menyebutkan mengenai pemilihan. 

Dengan pemahaman baru ini, pemilihan bukanlah doktrin yang memisahkan manusia menjadi yang diselamatkan dan yang tidak diselamatkan, melainkan menjadi suatu sarana anugerah Allah untuk menjangkau seluruh manusia.  Dengan pendekatan dari perspektif ini, pemilihan tidak menjadi suatu doktrin yang menempatkan kita ke dalam posisi mulia untuk menikmati status khusus yang orang lain tidak miliki, melainkan [p. 24] menjadi suatu panggilan untuk melayani orang lain dengan rendah hati sambil mensyukuri keajaiban anugerah-Nya.  Pemilihan bukannya menjadi suatu doktrin yang mencerminkan kedaulatan Allah yang kaku untuk menyelamatkan beberapa dan untuk membiarkan yang lain, atau “dekrit yang mengerikan” di dalam istilah Calvin, ia menjadi suatu ekspresi kasih Allah untuk memberikan suatu kesempatan kepada sebanyak mungkin orang untuk menerima anugerah keselamatan-Nya.


 

Notes 

* Artikel ini disampaikan dalam Retreat Pembinaan Doktrinal yang diselenggarakan oleh Seminari Alkitab Asia Tenggara, di Hotel Argo Wisata, Batu, pada 29-31 Oktober 2001.

[1]Untuk mengetahui pokok-pokok pemikiran Agustinus yang berkaitan dengan anugerah keselamatan, lih. Basic Writings of Saint Agustine (Vol. 1; ed. Whitney J. Oates; Grand Rapids: Baker, 1992).

[2]Calvin mengatakan, “Dekrit ini sangat mengerikan, saya mengakui,” Institutes of the Christian Religion III.xxiii.7.

[3]Ibid.III.xxi.5.

[4]Untuk pembahasan mengenai penempatan doktrin pilihan dalam sistem teologi Calvin, lih. Gordon J. Spykman, Reformational Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 1992) 507-512.

[5]Lih. Alister McGrath, Christian Theology (Cambridge: Blackwell, 1997) 452.

[6]Beberapa pandangan tentang doktrin pilihan yang sudah saya kemukakan di atas disebut sebagai pandangan klasik mengenai pemilihan Allah yang cenderung abstrak dan individual.  Sejak abad ke-20, para teolog Kristen melihat bahwa penekanan tentang pilihan Allah justru lebih bersifat historikal dan kolektif (corporate).  Teolog besar yang paling mempengaruhi peralihan konsep pilihan ini ialah Karl Barth

[7]Karl Barth, Church Dogmatics 2.2, The Doctrine of God (Edinburg: T. & T. Clark, 1957) 76.  Lihat keseluruhan diskusi mengenai hal ini pada halaman 60-72.

[8]Christian Theology 456-457.

[9]Systematic Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 1998) 3.552, untuk pembahasan lengkapnya lihat halaman 435-526.

[10]The Gospel in a Pluralist Society (Grand Rapids: Eerdmans, 1989) 84.

[11]Ibid. 85.

[12](Ed. Thomas R. Schreiner & Bruce A. Ware; Grand Rapids: Baker, 2000); di antara para penulisnya banyak mantan dosen saya sendiri.