“Unless I am convinced by Sacred Scripture or by evident reason, I will not recant. My conscience is held captive by the Word of God and to act against conscience is neither right nor safe.” Kata-kata ini diucapkan oleh Martin Luther pada 18 April 1521 ketika ia dihadapkan dengan sidang kekaisaran di kota Worms di hadapan kaisar Charles V yang menjadi penguasa Jerman (dan beberapa bagian Eropa lainnya) pada saat itu, serta di hadapan para pemimpin gerejawi. Luther dipanggil ke kota ini dengan tujuan supaya ia menarik kembali perkataan dan pengajarannya. Ia diminta untuk mengaku salah di depan publik mengenai apa yang ia tuliskan dan ajarkan tentang injil, keselamatan melalui iman, dan hakikat gereja. Tetapi Luther tidak bersedia mengaku salah dan menarik pengajarannya.[1]
Mengapa Luther tidak bersedia? Sebab hati nuraninya dikuasai sepenuhnya oleh firman Tuhan. Ia yakin sepenuhnya bahwa Alkitab dengan jelas mengajarkan kebenaran tentang manusia, jalan keselamatan, dan kehidupan Kristen. Ia melihat bahwa kebenaran-kebenaran yang penting ini sudah dikaburkan dan diselewengkan oleh gereja-gereja pada saat itu, yang seharusnya justru menjadi pembela yang setia. Di mata Luther, dasar penyelewengan gereja pada saat itu adalah pengajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab.[2] Ia tidak dapat tahan lagi melihat kerusakan gereja yang telah melawan Alkitab, dan hal ini juga sudah mencemari aspek-aspek kehidupan gereja lainnya.
Di sinilah kita melihat sikap Reformasi terhadap Alkitab. Prinsip penting yang ditegakkan dalam gerakan Reformasi adalah Sola Scriptura (hanya percaya kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab yang adalah firman Tuhan, karena hanya Alkitab yang memiliki otoritas tertinggi). Kita tahu bahwa dua ungkapan yang mewakili gerakan Reformasi adalah Sola Fide dan Sola Scriptura. Sering dikatakan bahwa Sola Fide adalah prinsip material dari pengajaran Reformasi, sedangkan Sola Scriptura adalah prinsip formalnya.[3] Kalau ditelusuri lebih dalam lagi maka jelaslah bahwa prinsip Sola Scriptura ada di balik semua perdebatan mengenai pembenaran melalui iman, karena Luther yakin sekali bahwa kebenaran ini diajarkan di dalam Alkitab.[4]
Para Reformator tidak pernah berusaha menegakkan doktrin yang baru atau berminat mendirikan gereja yang lain, tetapi mereka ingin meReformasi gereja,[5] dalam pengertian mereka ingin menghidupkan kembali kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek gerejawi yang murni berdasarkan Alkitab. John R. de Witt mengatakan, “The Reformation rediscovered and accentuated afresh the authority of the Bible.”[6] Para Reformator memiliki semangat untuk mengembalikan iman orang Kristen dan kekristenan kepada otoritas Alkitab. John Calvin mengemukakan,
Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai firman Allah kecuali apa yang termuat, pertama dalam Torah dan Kitab Nabi-nabi, dan kedua dalam tulisan-tulisan dari para Rasul; dan bahwa tidak ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari Firman-Nya.[7]
Prinsip Sola Scriptura dengan jelas mendobrak tirani dari suatu hierarki gerejawi yang sudah “corrupt” karena gereja menempatkan dirinya lebih tinggi daripada firman Tuhan. Berdasarkan Efesus 2:20 dapat dikatakan bahwa otoritas Alkitab sudah lebih dulu ada sebelum gereja berdiri karena gereja didirikan di atas dasar pengajaran para rasul dan para nabi. Pengajaran para rasul dan nabi adalah pengajaran firman Tuhan, dan jelas bukan hanya lebih tua tetapi lebih tinggi daripada pengajaran gereja. Alkitab mampu memberikan penilaian atas gereja dan juga memberikan model bagi gereja yang benar. [p. 3]
Para Reformator memiliki pendapat yang tegas bahwa kewenangan gereja dan para pejabatnya (paus-paus, dewan-dewan dan teolog-teolog) berada di bawah Alkitab. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki kewenangan. Namun, sebagaimana yang diungkapkan oleh Alister McGrath, kewenangan mereka tersebut berasal dari Alkitab dan berada di bawah Alkitab.[8] Kewibawaan mereka dilandaskan pada kesetiaan mereka pada firman Allah. Selanjutnya McGrath mengatakan, “Bila orang-orang Katolik menekankan pentingnya kesinambungan historis, para Reformator dengan bobot yang sama menekankan makna penting dari kesinambungan ajaran.”[9]
Jadi, prinsip Sola Scriptura menolak otoritas tradisi gereja yang disetarakan dengan otoritas Alkitab. Ada suatu catatan yang perlu diberikan di sini untuk menghindari kesalahpahaman yang sudah cukup umum. Banyak orang berpikir bahwa para Reformator percaya kepada otoritas Alkitab yang tanpa salah, sedangkan gereja Roma Katolik percaya hanya kepada otoritas gereja dan tradisinya yang tanpa salah. Ini suatu kekeliruan. Pada masa Reformasi, kedua pihak mengakui otoritas Alkitab.[10] Sebagai contoh, bagi sebagian besar teolog abad pertengahan, Alkitab merupakan sumber yang mencukupi untuk ajaran Kristen.[11] Yang menjadi pertanyaan serta perdebatannya adalah: “Is the Bible the only infallible source of special revelation?”[12]
Gereja Roma Katolik mengajarkan bahwa ada dua sumber wahyu khusus, yaitu Alkitab dan tradisi. Tradisi di sini dimengerti sebagai satu sumber yang berbeda, di samping Alkitab. Alkitab tidak berkata apa-apa mengenai sejumlah pokok masalah atau doktrin, maka Allah telah menetapkan suatu sumber wahyu kedua untuk melengkapi kekurangan ini. Ini adalah suatu tradisi yang tidak tertulis. Jikalau ditelusuri lebih mendalam tradisi tersebut, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya di dalam gereja, dianggap berasal dari para rasul. Jadi tradisi yang dimaksud di sini adalah “a separate, unwritten source handed down by apostolic succession.”[13] Dengan demikian, suatu kepercayaan yang tidak ditemukan dalam Alkitab, dapat dibenarkan dengan mengacu pada tradisi yang tidak tertulis tersebut. [p. 4]
Gereja Roma Katolik memberikan otoritas kepada tradisi gereja ini, dan dalam kaitan dengan hal ini maka mereka tidak mengizinkan siapapun menafsirkan Alkitab dengan jalan atau cara yang bertentangan dengan tradisi tersebut. Jelas bahwa mereka meninggikan tradisi melebihi Alkitab, bahkan beranggapan bahwa isi pengajaran Alkitab hanya dapat ditafsirkan dan diajarkan kepada orang-orang percaya melalui perantaraan paus atau konsili gerejawi. Para Reformator dengan tegas melawan konsep ini. Di dalam perdebatan dengan teolog-teolog Roma Katolik masa itu, Luther berani dengan tegas mengatakan bahwa adalah mungkin bagi Paus dan konsili gerejawi untuk melakukan kesalahan.
Prinsip Sola Scriptura juga tidak dapat dilepaskan dengan permasalahan kanon Alkitab. Istilah “kanon” (aturan, norma) dipergunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog abad pertengahan dan gereja Roma Katolik, yang dimaksud dengan Alkitab adalah karya-karya yang tercakup dalam Vulgata. Di dalamnya terdapat tambahan kitab-kitab tertentu, yang sering kali disebut sebagai kitab-kitab Apokrifa, yang tidak terdapat di dalam Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani. Para Reformator tidak setuju dengan adanya tambahan kitab-kitab tersebut, oleh sebab itu mereka merasa berwenang untuk mempersoalkan penilaian ini. Mereka berpendapat bahwa tulisan-tulisan Perjanjian Lama yang dapat diakui untuk masuk dalam kanon Alkitab hanyalah yang asli terdapat dalam Alkitab Ibrani.[14] Kitab-kitab Apokrifa tersebut merupakan bacaan yang berguna, tetapi tidak dapat dipergunakan sebagai dasar ajaran.[15] Penegasan Sola Scriptura mengakibatkan para Reformator menyingkirkan semua kitab di luar keenam puluh enam kitab dalam Alkitab. Perbedaan ini tetap ada sampai sekarang.[16]
Mengapa para Reformator sangat menjunjung tinggi otoritas Alkitab? Jawabannya sederhana sekali: karena Alkitab adalah firman Tuhan, maka Alkitab dengan sendirinya memiliki kewibawaan atau otoritas. Luther berkata, “The Scriptures, although they also were written by men, are not of men nor from men, but from God.”[17] Sedangkan menurut Calvin,
The Scriptures are the only records in which God has been pleased to consign his truth to perpetual rememberance, the full authority which they ought to possess with the faithful is not recognized, unless they are believed to have come from heaven, as directly as if God had been heard giving utterance to them.[18]
Jadi ada konsensus bahwa Alkitab harus diterima seakan-akan Allah sendirilah yang sedang berbicara.
Otoritas Alkitab berakar dan berdasarkan suatu fakta bahwa Alkitab ini diberikan melalui inspirasi Allah sendiri (2Tim. 3:16). Inspirasi adalah suatu cara di mana Allah memampukan penulis-penulis manusia dari Alkitab untuk menuliskan semua perkataan di bawah pengawasan Allah sendiri. Kepribadian dan kemanusiawian dari para penulis Alkitab diakui aktif dalam proses di mana Roh Allah memimpin mereka dalam proses inspirasi tersebut. Karena itu apa yang dituliskan bukanlah semata-mata tulisan mereka sendiri tetapi firman Allah yang sejati. Calvin memberikan komentar mengenai 2 Timotius 3:16 demikian:
This is the principle that distinguishes our religion from all others, that we know that God hath spoken to us and are fully convinced that the prophets did not speak of themselves, but as organs of the Holy Spirit uttered only that which they had been commissioned from heaven to declare. All those who wish to profit from the Scriptures must first accept this as a settled principle, that the Law and the prophets are not teachings handed on at the pleasure of men, or produced by men’s minds as their source, but are dictated by the Holy Spirit.[19]
Bagaimana cara atau metode yang sebenarnya mengenai inspirasi ilahi ini tidaklah dipaparkan secara jelas di dalam Alkitab sendiri.[20] Poin yang lebih krusial adalah fakta bahwa “the Scriptures are the direct result of the breathing out of God.”[21] Benjamin Warfield memberikan komentar yang sangat baik mengenai kata Yunani theopneustos:
The Greek term has . . . nothing to say of inspiring or of inspiration: it speaks only of a “spiring” or “spiration.” What it says of Scripture is, not that it is “breathed into by God” or that it is the product of the Divine “inbreathing” into its human authors, but that it is breathed out by God . . . when Paul declares, then, that “every scripturee,” or “all scripture” is the product of the Divine breath, “is God-breathed,” he asserts with as much energy as he could employ that Scripture is the product of a specifically Divine operation.[22] [p. 6]
Ini berarti semua yang ditulis para penulis Alkitab itu berasal dari Allah. Jadi, otoritas Alkitab adalah karena kenyataan dirinya sebagai penyataan ilahi yang diberikan melalui inspirasi ilahi.
Pertanyaan penting yang berkaitan dengan masalah otoritas Alkitab adalah: Berdasarkan apa kita menerima otoritas Alkitab tersebut? Bagaimana kita tahu dan yakin bahwa apa yang kita tegaskan mengenai otoritas Alkitab itu benar adanya? Apakah melalui gereja kita mengerti dan diyakinkan akan otoritas Alkitab sebagai firman Allah (pandangan gereja Roma Katolik yang tradisional)? Di dalam sejarah gereja kita melihat ada begitu banyak orang yang berusaha untuk memberikan argumen-argumen yang rasional untuk mendukung klaim bahwa Alkitab adalah firman Tuhan. Tetapi kita juga menyadari suatu fakta bahwa sering kali argumen-argumen yang diberikan, meskipun perlu dan penting, tidak sepenuhnya “convincing.”
Di sini kita melihat satu pokok pikiran Calvin yang sangat penting berkaitan dengan masalah ini. Ia dengan tidak henti-hentinya menegaskan bahwa dasar satu-satunya yang menyakinkan mengapa kita percaya otoritas Alkitab adalah kesaksian Roh Kudus sendiri. Kita percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah karena kesaksian Roh Kudus. Ia mengatakan:
The testimony of the Spirit is more excellent than all reason. For as God alone is a fit witness of himself in his Word, so also the Word will not find acceptance in men’s hearts before it is sealed by the inward testimony of the Spirit. The same Spirit, therefore, who has spoken through the mouths of the prophets must penetrate into our hearts to persuade us that they faithfully proclaimed what had been divinely commanded.[23]
Jadi otoritas Alkitab tidak tergantung pada bukti-bukti kehebatan dan kesempurnaannya, tetapi oleh karena iman yang Roh Kudus sudah kerjakan dalam hidup orang-orang percaya sehingga mereka mempercayai kebenaran Alkitab dan menaklukkan diri dibawah otoritas tersebut. James M. Boice mengutarakan bahwa kesaksian Roh Kudus ini adalah “the subjective or internal counterpart of the objective or external revelation.”[24]
Apa yang Calvin ajarkan di sini sesuai dengan yang dikatakan rasul Paulus di 1 Korintus 2:13-14. Dengan demikian jelas sekali bahwa terlepas dari karya Roh Kudus maka seseorang tidak akan menerima kebenaran-kebenaran rohani dan secara khusus tidak akan menerima kebenaran bahwa perkataan-perkataan Alkitab adalah firman Allah. Calvin juga mengatakan, “But it is foolish to attempt to prove to infidels that the Scripture is the Word of God. This it cannot be known to be, except by faith.”[25] [p. 7]
Keyakinan yang datangnya dari kesaksian Roh Kudus adalah keyakinan yang muncul pada saat kita membaca firman Tuhan dan mendengar suara Tuhan berbicara melalui perkataan-perkataan Alkitab tersebut dan menyadari bahwa ini bukanlah kitab biasa. Roh Kudus berbicara di dalam (in) dan melalui (through) perkataan-perkataan Alkitab dalam memberikan keyakinan ini.[26] Tepatlah apa yang dikatakan oleh seorang pastor, “If you have the Bible without the Spirit, you will dry up. If you have the Spirit without the Bible, you will blow up. But if you have both the Bible and the Spirit together, you will grow up.”
Setelah zaman Reformasi, pandangan yang ortodoks mengenai Alkitab mendapatkan serangan demi serangan. Gereja Roma Katolik bahkan secara resmi pada tahun 1546 (konsili Trent) menempatkan tradisi gereja berdampingan dan setara dengan Alkitab sebagai sumber penyataan. Serangan lain datang dari golongan rasionalis pada abad 18 dan 19. Alkitab bukanlah “God’s word to man” tetapi “man’s word about God and man.” Alkitab hanyalah berisikan kesaksian atau catatan manusia mengenai karya penyataan dan keselamatan Allah dalam sejarah. Sifat ilahi yang unik dari Alkitab ditolak, sehingga otoritasnya pun ditolak. Otoritas tertinggi adalah rasio manusia. Rasio manusia memiliki kebebasan mutlak yang harus terlepas dari klaim-klaim teologis.[27]
Bagaimana dengan sikap gereja-gereja Tuhan terhadap Alkitab? Sola Scriptura adalah doktrin yang menegaskan bahwa Alkitab, dan hanya Alkitab saja, yang memiliki kata akhir untuk semua pengajaran dan kehidupan kita. Seluruh aspek pemikiran dan kehidupan kita haruslah tunduk pada firman Allah. Benarkah demikian? David Wells, dalam bukunya, No Place for Truth,[28] memberikan kritik tajam kepada golongan injili yang sudah jatuh [p. 8] ke dalam berbagai pencobaan zaman modern, sehingga akhirnya kebenaran Allah sudah tidak lagi mengatur gereja-gereja. Hal-hal apa sajakah yang menjadi mentalitas zaman ini? Menurut Wells ada beberapa:
Akibatnya, menurut Wells, Allah tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dalam hidup manusia. Kebenaran tidak lagi menguasai gereja. Teologi tidak memberikan daya tarik. Khotbah-khotbah hanya berpusatkan pada “felt needs.” Teori-teori marketing dan manajemen dalam pertumbuhan gereja menggantikan prinsip-prinsip Alkitab. Hal ini perlu menjadi pemikiran serius bagi gereja-gereja Tuhan.
Bagaimana dengan sikap para hamba Tuhan terhadap Alkitab? Panggilan hamba Tuhan adalah panggilan untuk mempelajari dan menguraikan firman Tuhan (bdk. Kis. 20:27 di mana Paulus mengajarkan “the whole counsel of God” selama pelayanannya di jemaat Efesus). De Witt mengatakan bahwa salah satu ciri khas teologi Reformed adalah pandangan mengenai berkhotbah (preaching) yang distingtif. Ia menulis, “It is by preaching that God confronts people and draws them to himself, conforming them to the pattern of his Son; indeed, it is by preaching that Jesus addresses himself to the hearts and consciences of men [Rm. 10:14].”[29] Berdasarkan apa yang dinyatakan di dalam Alkitab, maka preaching adalah eksposisi dan aplikasi firman Tuhan. Tugas ini dipercayakan kepada para hamba Tuhan (bdk. Kis. 6:1 dst.). John Stott dengan keras berkata, “Sehat tidaknya keadaan jemaat-jemaat kita lebih banyak tergantung pada mutu pelayanan pemberitaan firman Tuhan daripada hal-hal lainnya . . . apa yang terjadi di bangku jemaat memancarkan apa yang terjadi di mimbar.”[30] Apakah tugas ini sudah kita jalankan dengan penuh kesungguhan dan keseriusan karena kita memberitakan firman yang memiliki otoritas dari Allah? [p. 9]
Elemen baru di dalam pengajaran Sola Scriptura dari para Reformator sebenarnya bukanlah permasalahan otoritas Alkitab, karena gereja Roma Katolik juga berpegang pada hal itu. Elemen yang baru berkaitan dengan masalah penafsiran Alkitab. Bukanlah hal yang berlebihan kalau dikatakan bahwa Reformasi di abad 16 tersebut pada dasarnya adalah suatu revolusi hermeneutik.[31] Gerakan Reformasi menolak penafsiran otoritatif terhadap Alkitab, khususnya dari gereja Roma Katolik yang menekankan bahwa Paus atau konsili gerejawilah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Alkitab. Sampai zaman Reformasi Alkitab masih dianggap oleh kebanyakan orang sebagai suatu kitab yang “obscure.” Orang awam biasa tidak dapat diharapkan untuk mengertinya, sehingga mereka tidak didorong untuk membacanya. Bahkan Alkitab tidak tersedia di dalam bahasa yang mereka mengerti. Mereka jelas bergantung sepenuhnya pada penafsiran gereja yang bersifat otoritatif. Pengajaran Alkitab dikomunikasikan kepada orang-orang Kristen hanya melalui perantaraan Paus, konsili, atau pastor.
Para Reformator sangat menekankan prinsip “private interpretation.” Hak untuk menafsirkan Alkitab secara pribadi, berarti setiap orang Kristen memiliki hak untuk membaca dan menafsirkan Alkitab untuk dirinya sendiri.[32] Ini bukan berarti kepada setiap individu diberikan hak untuk menyelewengkan atau mendistorsi Alkitab. Ini adalah prinsip yang berasumsi bahwa Allah yang hidup berbicara kepada umat-Nya secara langsung dan otoritatif melalui Alkitab. Oleh sebab itu orang Kristen harus didorong untuk membaca Alkitab. Alkitab harus diterjemahkan ke dalam bahasa umum. Luther, contohnya, sangat menekankan hal ini, sehingga ia melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman.
Para tokoh Reformator sendiri tampaknya menekankan pengertian mereka terhadap Alkitab dengan tidak mempedulikan apakah pengajaran mereka bertentangan dengan keputusan-keputusan konsili atau penafsir-penafsir gerejawi lainnya. Bagi mereka gereja bukanlah penentu arti Alkitab, justru Alkitablah yang harus mengoreksi dan menghakimi gereja. Tetapi pertanyaannya: apakah memang tidak ada peranan pengajaran (tradisi) gereja sama sekali dalam hal ini? Reformasi sering kali dilihat mempunyai ciri khas yaitu suatu “massive break” dengan tradisi gereja. Yang benar adalah, para Reformator menentang otoritas tradisi dan otoritas gereja, hanya sejauh otoritas tersebut mengungguli otoritas Alkitab.[33] [p. 10]
Para Reformator tidak pernah menolak nilai tradisi eksegetis dan teologis dari gereja yang didasarkan dan tunduk pada kebenaran Alkitab. Mereka menghormati tradisi, secara khusus yang diajarkan oleh bapa-bapa gereja (Agustinus secara khusus). Luther berkata, “The teachings of the Fathers are useful only to lead us to the Scriptures as they were led, and then we must hold to the Scriptures alone.”[34] Calvin, sebagai contoh, menulis edisi Institutes pertama pada tahun 1536 ketika ia masih berusia dua puluhan. Buku ini mengalami revisi beberapa kali, dan edisi akhir adalah tahun 1559. Selama masa dua dekade tersebut Calvin berkecimpung dan sibuk memberikan eksposisi Alkitab dan berkhotbah. Dalam hal ini ia berinteraksi banyak dengan penafsiran penafsir-penafsir sebelumnya. T. H. L. Parker berkata tentang Calvin:
“As his understanding of the Bible broadened and deepened, so the subject matter of the Bible demanded ever new understanding in its interrelations within itself, in its relations with secular philosophy, in its interpretation by previous commentators.”[35]
Maka jelaslah, seperti yang Silva katakan, “the reformation marked a break with the abuse of tradition but not with the tradition itself.”[36] Kritik yang diberikan adalah terhadap ajaran dan praktek yang sudah menyeleweng dari, atau bertentangan dengan, Alkitab. Para Reformator masih mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling tradisional (seperti keilahian Kristus, Trinitas, baptisan anak, dan sebagainya) karena ajaran-ajaran tersebut sesuai dengan Alkitab. Mereka menghargai tulisan-tulisan bapa-bapa Gereja yang adalah pembela-pembela kebenaran Alkitab.
Hak “private interpretation” haruslah disertai dengan tanggung jawab untuk memakai dan menafsirkan Alkitab dengan hati-hati dan akurat. Karena itu dalam hal ini kebutuhan akan penafsir dan guru sangat diperlukan. Memang Alkitab dapat dibaca dan dimengerti oleh orang-orang percaya (doktrin the clarity or perspicuity of Scripture), tetapi masih ada hal-hal tertentu yang masih belum jelas dan sulit bagi banyak orang yang jelas membutuhkan suatu penyelidikan dan penelitian akademik. Ketidakjelasan atau kekaburan tersebut lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan kita akan bahasa, tata bahasa, dan budaya dari penulis Alkitab, daripada dikarenakan isi pengajaran atau subject-matter-nya. Oleh sebab itu, “biblical scholarship” sangat penting dan diperlukan. [p. 11]
Kontribusi penting dari para Reformator terhadap penafsiran Alkitab adalah penegasan mereka akan “plain meaning” (arti yang alamiah atau wajar) dari Alkitab. Secara khusus kepedulian mereka adalah menyelamatkan Alkitab dari penafsiran alegoris yang masih terus ada saat itu.[37] Luther mengungkapkan, “The Holy Spirit is the plainest writer and speaker in heaven and earth and therefore His words cannot have more than one, and that the very simplest sense, which we call the literal, ordinary, natural sense.”[38] Apa yang ditekankan di sini bukanlah penafsiran harafiah yang kaku. Prinsip ini menegaskan bahwa “the Bible must be interpreted according to the manner in which it is written.”[39] Arti yang “plain” dari Alkitab adalah arti yang dimaksudkan oleh penulis manusia, dan hal itu hanya dapat dimengerti melalui analisa konteks sastra dan sejarah. Jadi jelaslah ada aturan-aturan dalam penafsiran yang harus diikuti untuk menghindari penafsiran yang subjektif dan aneh-aneh. Pengaruh dari semangat Renaissance dalam hal ini tidak bisa dipungkiri. Kita melihat suatu ketertarikan baru terhadap sifat historis dari tulisan-tulisan kuno, di mana Alkitab termasuk di dalamnya.[40]
Ada yang mengatakan, “It is almost a truism to say that modern historical study of the Bible could not have come into existence without the Reformation.”[41] Prinsip Reformasi ini terkait erat dengan apa yang kita sebut metode penafsiran “Grammatical-Historical,” yang berfokus pada “historical setting” dan “grammatical structure” dari bagian-bagian Alkitab. Dalam hal ini para Reformator berfokus pada sifat manusiawi dari Alkitab itu sendiri. Ekses negatif dari pendekatan ini adalah pendapat bahwa Alkitab harus dimengerti dan ditafsirkan seperti buku biasa lainnya. Inilah yang membuka jalan untuk pendekatan “Historical-Critical” yang berkembang pada abad 18-19. Bedanya dengan pendekatan Reformasi adalah, iman atau komitmen teologi tidak diperbolehkan mempengaruhi penafsiran.[42] Mereka berusaha untuk netral, tapi sebenarnya tidak dapat netral karena mereka sudah berpegang pada “teologi” (iman) mereka sendiri yaitu teologi yang tidak percaya adanya intervensi Allah dalam dunia ini. Sumbangsih gerakan Reformasi dalam hal penafsiran Alkitab sangat penting, di mana prasuposisi iman tidak mungkin dilepaskan dari hal penafsiran Alkitab. [p. 12]
Pemikiran Reformasi mengenai penafsiran Alkitab juga menolong kita untuk berhati-hati di dalam merespons segala bentuk pendekatan atau metode penafsiran posmodernisme, yang secara khusus memberikan penekanan pada respons dari pembaca masa kini (reader-response approach). Pendekatan ini beranggapan bahwa tidak ada “meaning” yang pasti dan benar, yang ada hanyalah “meanings” yang muncul atau dihasilkan dari pembaca sendiri. Bahaya subjektivisme dan relativisme sangat terlihat di sini. Memang betul bahwa penafsiran Alkitab tidak hanya berhenti pada interpretasi, tetapi aplikasi. Kendati demikian ini bukan berarti aplikasi yang tidak terkontrol dan sembarangan di mana seolah-olah pembacanya yang menentukan arti dan aplikasinya.[43]
Gerakan Reformasi juga menetapkan suatu prinsip penting dalam penafsiran yaitu “Scripture is to interpret itself” (Sacra Scriptura sui interpres). Kita menafsirkan Alkitab dengan Alkitab. Oleh sebab itu, kita tidak mempertentangkan satu bagian dengan bagian Alkitab lainnya. Apa yang tidak jelas di suatu bagian mungkin dapat diklarifikasikan oleh bagian yang lain. Di balik prinsip ini ada suatu keyakinan bahwa jikalau Alkitab adalah firman Allah maka bersifat koheren dan konsisten pada dirinya sendiri. Allah tidak mungkin berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri. Memang betul bahwa Alkitab dituliskan oleh manusia-manusia yang berbeda, yang hidup pada zaman yang berbeda pula. Tetapi kita juga menyadari bahwa Allah adalah penulis aslinya, sehingga jelas ada kesatuan dan koherensi. Ini tidak sama artinya dengan uniformitas (keseragaman). Para penulis manusia menunjukkan tulisan mereka pada situasi yang nyata. Tetapi Allah dalam kedaulatan-Nya menuntun mereka dan situasi mereka, bahkan secara langsung mempengaruhi dan mengajar mereka (bdk. 2Ptr. 1:21), maka akibatnya kita melihat suatu kesatuan pikiran di balik semua itu. Untuk mengetahui maksud Allah, tidak mungkin kita memperhatikan “bits” dan “pieces” saja, tetapi kita harus melihat Alkitab secara keseluruhan. Hal ini sama seperti ketika kita bermaksud mengetahui maksud penulis manusia, yaitu dengan membaca hasil akhir karyanya.
Jelaslah bahwa Alkitab menyajikan tujuan ilahi. Concern dari Alkitab adalah memberitahukan kepada kita akan suatu “story,” yaitu cerita mengenai karya penebusan Allah bagi umat-Nya melalui Yesus Kristus. Alkitab menyajikan kepada kita “Redemptive History.” Oleh sebab itu ayat-ayat dalam Alkitab tak pernah ditafsirkan lepas dari konteks kesatuan keseluruhan Alkitab. Setiap bagian Alkitab berkaitan erat dan tidak boleh ditafsirkan di luar konteks rencana dan aktivitas Allah yang bersifat “redemptive-historical” dan “covenantal” (relasi antara Allah dan umat-Nya). [p. 13]
Apakah doktrin Sola Scriptura masih relevan untuk dipertahankan? Melihat situasi yang kita hadapi saat ini maka penegasan doktrin yang mendasar ini masih sangat penting. Kita sekarang hidup pada zaman yang sering kali disebut sebagai zaman posmodernisme. Apa yang menjadi mentalitas zaman ini? William Edgar mengemukakan, “at the heart of the postmodern mentality is a culture of extreme skepticism . . . . According to many postmodernists, knowledge is no longer objective—nor even useful—and ethics is not universal.”[44] Inilah dunia yang tidak kompatibel dengan kebenaran injil, dan di dalam dunia yang seperti ini Tuhan memanggil kita untuk mempertahankan kebenaran firman-Nya.
Notes:
* Artikel ini disampaikan dalam Retreat Pembinaan Doktrinal yang diselenggarakan oleh Seminari Alkitab Asia Tenggara, di Hotel Argo Wisata, Batu, pada 29-31 Oktober 2001.
[1]Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries (Edisi ketiga; Grand Rapids: Zondervan, 1996) 284.
[2]Stephen Tong, Reformasi & Teologi Reformed (Jakarta: LRII, 1991) 13.
[3]Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: Gunung Mulia, 1999) 174.
[4]R. C. Sproul, Grace Unknown: The Heart of Reformed Theology (Grand Rapids: Baker, 1997) 42.
[5]Tony Lane, Christian Thought (Tring: Lion, 1984) 110-111.
[6]John R. de Witt, What is the Reformed Faith? (Edinburgh: Banner of Truth, 1981) 5.
[7]McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi 182.
[8]Ibid. 185. McGrath juga mengutip Calvin yang berkata, “. . . kita berpegang bahwa . . . bapa-bapa gereja dan dewan-dewan hanya berwibawa sejauh mereka sesuai dengan aturan dari firman itu, kita masih memberikan kepada dewan-dewan dan bapa-bapa gereja kehormatan dan kedudukan seperti yang sesuai untuk mereka miliki di bawah Kristus” (Sejarah Pemikiran Reformasi 186).
[9]Ibid. 186.
[10]James M. Boice, Foundations of the Christian Faith (Downers Grove: IVP, 1986) 48.
[11]Alister McGrath, The Intellectual Origins of the European Reformation (Oxford: University Press, 1987) 140-151.
[12]Sproul, Grace Unknown 42.
[13]J. Van Engen, Tradition in Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter A. Elwell; Grand Rapids: Baker, 1984) 1105.
[14]McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi 182-183.
[15]Sebagai contoh, pengajaran Roma Katolik mengenai doa untuk orang mati adalah didasarkan pada 2 Makabe 12:40-46. Bagi para Reformator, kebiasaan ini tidak mempunyai dasar alkitabiah, karena kitab tersebut adalah kitab Apokrifa.
[16]Konsili Trent 1546 tetap mendefinisikan kanon sesuai dengan apa yang ada di dalam Alkitab Vulgata.
[17]Martin Luther, That Doctrines of Men Are to Be Rejected in What Luther says: An Anthology (ed. Ewald M. Plass; St. Louis: Concordia, 1959) 1.63.
[18]John Calvin, Institutes I.vii.1.
[19]John Calvin, Calvin’s New Testament Commentaries (tr. T. A. Small; Grand Rapids: Eerdmans, 1964) 10.330.
[20] Luther sendiri juga tidak pernah mengembangkan teologi tentang inspirasi Alkitab.
[21]Boice, Foundations 39.
[22]The Inspiration and Authority of the Bible (ed. Samuel G. Craig; London: Marshall & Scott, 1959) 133.
[23]Institutes I.vii.4.
[24], Foundations 49.
[25]Calvin, Institutes I.viii.13.
[26]Di dalam hal inilah kita berbeda dengan pandangan Neo-Ortodoki mengenai Alkitab. Kita percaya bahwa tulisan-tulisan dalam Alkitab adalah apa yang Allah katakan kepada kita, terlepas dari apakah kita membacanya, mengertinya, atau menerimanya atau tidak. Status Alkitab tidaklah ditentukan oleh respons manusia. Neo-Ortodoksi menekankan bahwa Alkitab menjadi firman Allah, yaitu pada saat ada “encounter.” Pada saat tidak ada encounter, maka Alkitab hanyalah kata-kata manusia belaka yang menuliskannya. Sebenarnya pengertian wahyu sebagai suatu “encounter” tersebut adalah apa yang kita mengerti sebagai illuminasi. Pada saat seseorang diyakinkan akan suatu kebenaran tertentu, itu berarti illuminasi sedang terjadi.
[27]Robert M. Grant dan David Tracy, A Short History of the Interpretation of the Bible (Edisi kedua; Minneapolis: Fortress, 1984) 100-109. Tepatlah apa yang dikatakan Boice, “The Catholic Church weakened the orthodox view of the Bible by exalting human traditions to the stature of Scripture. Protestants weakened the orthodox view of Scripture by lowering the Bible to the level of traditions” (Foundations 70).
[28]Atau Whatever Happened to Evangelical Theology? (Grand Rapids: Eerdmans, 1993).
[29]What is the Reformed Faith? 17-18.
[30]Alkitab: Buku Untuk Masa Kini (tr. Paul Hidayat; Jakarta: PPA, 1987) 60-61.
[31]Moisés Silva, Has the Church Misread the Bible? (Grand Rapids: Zondervan, 1987) 77.
[32]Sproul, Grace Unknown 55.
[33]Silva, Has the Church 95.
[34]Dikutip dari Dan McCartney dan Charles Clayton, Let the Reader Understand: A Guide to Interpreting and Applying the Bible (Wheaton: Bridgepoint, 1994) 93.
[35]John Calvin: A Biography (Philadelphia: Westminster, 1975) 132.
[36]Silva, Has the Church 96.
[37]Ibid. 77-78.
[38]Works of Martin Luther (Philadelphia: Holman, 1930) 3.350.
[39]Sproul, Grace Unknown 56.
[40]Edgar Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress, 1975) 7-10.
[41]Grant and Tracy, A Short History 92.
[42]Krentz, The Historical 16-30.
[43]Lihat ulasan yang menarik oleh Kevn J. Vanhoozer, Is There A Meaning in the Text? The Bible, the Reader, and the Morality of Literary Knowledge (Grand Rapids: Zondervan, 1998) khususnya pasal 4 & 7.
[44]Reasons of the Heart: Recovering Christian Persuasion (Grand Rapids: Baker, 1996) 25.